REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi Cepat Tanggap (ACT) Indonesia terus mengirimkan relawan tambahan bagi korban gempa Lombok. Lima relawan yang tergabung dalam Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) asal Aceh dihadirkan untuk bergabung dengan relawan lain yang berada di Lombok, NTB sebelumnya.
Lima relawan yang bergabung memiliki tugas di beberapa bidang yang memang dibutuhkan oleh para korban. Mereka di antaranya Mulya bagian medis, Rauzi Haristia sebagai sopir, Munarul tim fotografer, Ilham dan M Yogaswara dari bagian Manajemen Posko.
Mulya selaku ketua tim relawan sekaligus Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Aceh mengatakan pengiriman tim relawan ke Lombok untuk memperkuat tim relawan ACT yang memang sudah duluan berada di sana. Timnya juga ditempatkan pada setiap posko yang berbeda.
"Lombok yang terus-terusan dilanda gempa butuh banyak tim relawan untuk membantu masyarakat yang ada di sana. Kita dari MRI Aceh datang ke sana untuk memenuhi panggilan kemanusiaan, membantu masyarakat Lombok yang sedang ditimpa musibah. Nantinya, tim ini akan dipecah atau ditempatkan pada setiap posko yang berbeda. Semoga dengan hadirnya tim relawan Aceh bisa menjadi perwakilan bahwa masyarakat Aceh juga hadir di tengah-tengah masyarakat Lombok," ujar Mulya dikutip dari laman resmi ACT Indonesia, Ahad (26/8) lalu.
Kelima relawan ini berangkat dari Aceh Besar sejak Selasa (21/8) kemarin. Tim pun telah aktif membantu para pengungsi pada Kamis (23/8).
Mulya sendiri menempati posko di Desa Karang Bajo tepatnya di Jl. Raya Ancak Timur, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Dua hari setelah tiba di sana, Mulya bersama dengan relawan lainnya langsung mengadakan pelayanan kesehatan.
Pada Kamis (23/8) kemarin, Mulya bersama relawan medis lainnya melakukan kegiatan pelayanan kesehatan dan layanan psikoedukasi bagi masyarakat Karang Bajo dan di posko utama Bayan. Dari dua lokasi tersebut ada 18 masyarakat yang ikut layanan kesehatan dan 43 orang yang mengikuti layanan psikoedukasi.
Dengan adanya layanan psikoedukasi ini bisa membantu masyarakat untuk tidak mudah mengalami gangguan jiwa ketika mengalami musibah. Sementara dalam masalah kesehatan fisik, kebanyakan masyarakat menderita diare, gatal-gatal, batuk dan demam. Penyakit ini dikatakan sering dialami para pengungsi.
"Alhamdulillah, saudara-saudara kita di pengungsian bersyukur dengan adanya kegiatan seperti ini. Mereka berharap kegiatan ini bisa berlangsung secara berkala baik satu atau dua minggu sekali," lanjut Mulya.
Bagi ia dan warga Aceh pada umumnya, gemba Lombok mengingatkan mereka pada bencana serupa yang menimpa Pidie Jaya akhir Desember 2016 lalu. Gempa dengan kekuatan 6,2 Skala Richter memporak-porandakan Pidie Jaya.
Ratusan bangunan rusak parah bahkan rata dengan tanah. Bencana alam yang kerap menimpa masyarakat Aceh membuat mereka mempunyai rasa saling senasib sepenanggungan pada masyarakat yang juga tertimpa musibah seperti Lombok.