Selasa 28 Aug 2018 14:41 WIB

Dinasti-Dinasti Islam Penjaga Kehidupan Toleran

kaum non-Muslim menikmati toleransi yang begitu besar di bawah aturan penguasa Muslim

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Era Dinasti Ottoman.
Foto: Aksitarih.com
Era Dinasti Ottoman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sir Thomas Walker Arnold dalam The Preaching of Islam. A History of Propagation of the Muslim Faith mengomentari besarnya penghargaan Islam terhadap prinsip toleransi. Bahkan, menurutnya, kaum non-Muslim menikmati toleransi yang begitu besar di bawah aturan penguasa Muslim.

Padahal, di saat yang sama, Eropa masih belum mengenal toleransi sama sekali. Barat baru menyemarakkan tenggang rasa antar dan internal umat beragama belakangan ini pada zaman modern.

Lebih lanjut, Sir Thomas mengungkapkan, ketika berabad-abad lamanya dinasti-dinasti Muslim berkuasa, banyak sekte Kristen yang dibiarkan hidup, berkembang, dan bahkan dilindungi aturan negara. Amat jarang kasus persekusi yang dilakukan orang Islam terhadap komunitas non-Muslim. Menurut orientalis Inggris tersebut, keyakinan yang diajarkan Alquran, Tidak ada paksaan dalam agama berperan amat penting.

Reza Shah-Kazemi melalui karyanya, The Spirit of Tolerance in Islam,mengemu kakan beberapa dinasti yang menunjukkan pentingnya toleransi dalam peradab an Islam. Ambil contoh Kekhalifahan Abbasiyah yang mempersembahkan kepada peradaban dunia Bait al-Hikmah.

Perpustakaan itu dibesarkan Sultan Harun al-Rasyid di Baghdad. Di dalamnya, berlangsung kegiatan-kegiatan ilmiah, mulai dari penerjemahan teks-teks asing ke dalam bahasa Arab hingga riset dan observasi. Sang sultan mengedepankan prinsip toleransi dan meritokrasi di atas identitas.

Buktinya, dia mengangkat I'yan Syu'ubi, seorang Persia yang anti-Arab, sebagai kepala perpustakaan. Hal itu disinggung Prof Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam. Tidak sedikit pula orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah teks-teks Yunani Kuno ke bahasa Ibrani dan Arab di Bait al-Hikmah. Ada juga sarjana-sarjana dari India yang aktif berkontribusi di sana.

Contoh lainnya dari makna toleransi ala Islam ditunjukkan Ottoman dari Turki. Reza mengutip pendapat beberapa sejarawan yang menyatakan, selama hampir tujuh abad (1280-1924), Kesultanan Ottoman menjadi negeri yang amat multikultural dan multiagama.

Di dalamnya, pelbagai komunitas beda agama dan budaya hidup berdampingan, bekerja sama, dan saling toleran satu sama lain. Rumah-rumah ibadah kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi berdiri berdekatan. Demikian pula dengan pusat-pusat studi masing-masing pemeluk agama. Kemajemukan itulah yang memperkaya khazanah dan peradaban negeri ini.

Dinasti Ottoman adalah contoh klasik tentang bagaimana seharusnya masyarakat yang plural. Di dalam negeri (daulah)Islam itu, orang-orang non-Muslim juga berhak menikmati pelbagai fasilitas publik, semisal sekolah, rumah sakit, perpustakaan, dan peradilan terbuka.

Semangat toleransi antarumat beragama tecermin dalam aturan perundang-undangan, terutama sejak era sang penakluk Konstantinopel, Sultan Mehmet II (1451- 1481). Setiap komunitas agama di izinkan untuk memerintah secara otonom (self- government). Sebagai imbalannya, mereka diharuskan membayar pajak jizyah yang besarannya variatif.

Mengutip pemaparan Imam al-Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyah,jizyah di tetapkan atas golongan ahli kitab, yakni orang Yahudi dan Kristen, serta kaum Majusi yang statusnya disamakan dengan keduanya. Para ahli fikih masih berbeda pen dapat tentang ukuran jizyah. Bagaimanapun, Abu Hanifah membagi orang- orang yang terkena jizya ke dalam tiga kelompok sesuai kemampuan materinya, yakni kelas kaya, kelas menengah, dan kelas fakir miskin.

Kelompok pertama hingga ketiga berturut-turut mesti membayar per tahun 48 dirham, 24 dirham, dan 12 dirham. Menurut Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Jihad, besaran itu tidak begitu besar bila dibandingkan manfaat yang diperoleh mereka, yakni perlindungan penuh atas kebebasannya beragama. Lagi pula, kaum Muslim pun ikut diwajibkan membangun negara melalui zakat, baik atas harta, aset, ternak, pertanian, maupun buah-buahan yang dimilikinya.

Mengutip sejarawan Barat, Adam Mertz, jizyah menyerupai pajak pertahanan negara. Oleh karena itu, kaum wanita, anak-anak, orang buta, penyandang disabilitas, pendeta yang terus-menerus beribadah di gereja, dan orang kehilangan akal tidak dibebani dengan jizyah.

Kalau dibanding dengan Eropa pada Abad Pertengahan, toleransi yang dijalan kan penguasa Muslim jelas lebih unggul. Reza menjelaskan, Kesultanan Utsma niyyah melindungi komunitas Yahudi. Sebaliknya, di daerah-daerah yang dikuasai kerajaan-kerajaan Kristen Eropa, antisemitisme sangat kuat terjadi. Bahkan, kaum Yahudi juga menjadi incaran persekusi kelompok-kelompok fanatikus Kristen.

Pemuka Yahudi pun mengakui besarnya perlindungan penguasa Muslim. Sebagai contoh, Reza mengutip surat Rabbi Isaac Tzarfati kepada Dewan Yahudi Eropa Tengah. Tokoh Yahudi itu berhasil menyelamatkan diri dari persekusi di Eropa Tengah dan tiba di wilayah Ottoman menjelang tahun 1453 M.

Melalui suratnya, pria kelahiran Jerman itu memuji Turki sebagai negeri yang dirahmati Tuhan dan penuh kebaikan. Selanjutnya dia mengaku, di sini (aku) menemukan kedamaian dan kebahagiaan [...] Kami (kaum Yahudi) tidak ditindas dengan pajak yang berat, perniagaan kami dapat berlangsung bebas. Setiap kami dapat hidup dalam damai dan kebebasan.

Toleransi Mughal

Dinasti lainnya yang juga merawat subur toleransi antarumat beragama adalah Mughal. Michael H Fisher dalam A Short History of the Mughal Empire mengungkapkan, kesultanan tersebut bertahan tiga abad lamanya dengan jumlah penduduk yang mencapai 150 juta jiwa.

Mereka bukan hanya umat Islam, melainkan juga umat agama-agama lain. Di era kejayaannya, Kesultanan Mughal sangat bineka dan kaya sehingga mengendalikan hampir seperempat total nilai produksi dunia (gross domestic product/GDP).

Pendiri Dinasti Mughal adalah Zahirud din Muhammad bin Omar Syekh alias Sultan Babur. Saat pertama kali menaklukkan Hindustan (India), komunitas Muslim adalah minoritas, sedangkan mayoritas nya memeluk Hindu. Sebagai informasi, Islam tersebar di Anak Benua India antara lain berkat dakwah para sufi dan kaum pedagang asal Arab Selatan.

Fisher menjelaskan, Sultan Babur tidak menganggap kaum Hindu sebagai musuh. Bagi sang penakluk itu, status mereka dapat disetarakan dengan ahl al-kitab, yakni kaum Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, mereka dilindungi dan berhak mengadakan pemerintahan otonom sembari setia membayar pajak jizyah.

Posisi sosial kaum itu juga naik lantaran beberapa keturunan Sultan Babur memperistri kalangan rajput yang beragama Hindu. Sepeninggalan Babur, para penguasa Mughal justru lebih longgar dalam memberlakukan aturan. Sebagai contoh, negara tidak lagi menarik jizyah dari rakyatnya yang non-Muslim.

Pemimpin berikutnya yang terkenal akan sikap tolerannya adalah Abul Fatah Jalaluddin Muhammad alias Sultan Akbar. Selama 50 tahun dia berkuasa, wilayah Kerajaan Mughal meliputi hampir seluruh Anak Benua India. Sultan Akbar mengenal betul karakteristik masyarakat India yang berbineka. Untuk menjamin ketenteraman rakyat dan stabilitas negara, dia merangkul kelompok-kelompok rajput Hindu. Pada 1579, dihapusnya aturan pajak atas kafir dzimmi.

Sultan Akbar juga menjalankan sistem birokrasi yang lebih menghargai ke mampuan dan prestasi individual, alih-alih identitas suku dan agama. Maka dari itu, banyak penasihat kerajaan yang berasal dari kalangan Hindu serta non-Muslim lainnya. Kebijakannya di tengah rakyat pun sarat nilai toleransi. Misalnya, orang-orang yang berperkara akan diadili sesuai dengan kitab suci agama mereka masing-masing.

Dalam masa kekuasaannya, luas wilayah Kesultanan Mughal bertambah tiga kali lipat dari semula. Semasa hidupnya, Sultan Akbar membangun banyak infrastruktur publik yang terbuka, tanpa memandang identitas agama. Ribuan madrasah dibangun untuk anak-anak Muslim maupun non-Muslim.

Pusat-pusat kerajaan berdiri di Agra, Fatehpur Sikri, dan Delhi. Semuanya menjadi mercusuar peradaban Islam. Para sarjana dari lintas aga ma dan mancanegara banyak yang hijrah ke Kesultanan Mughal untuk ikut mengembangkan ilmu pengetahuan. Di antara bidang yang menjadi konsennya adalah matematika, geografi, astronomi, dan sejarah.

Sultan Akbar menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan sains. Dia memerintahkan pembangunan banyak perpustakaan di kota-kota seluruh wilayah kekuasaannya. Di Fatehpur Sikri, misalnya, sebuah perpustakaan besar dibangun khusus bagi perempuan. Adapun perpustakaan pribadinya menyimpan lebih dari 24 ribu buku dengan rupa-rupa bahasa, antara lain Urdu, Sanskerta, Persia, Yunani, Latin, dan Arab.

Dengan digaji negara, para sarjana setempat aktif menerjemahkan banyak teks dari Sanskerta, Portugis, dan lain- lain ke dalam Persia, bahasa resmi Kesultanan Mughal. Di antara teks besar yang berhasil dialihbahasakan adalah epos Mahabharata dan Ramayana.Bahkan, Sultan Akbar sendiri terlibat dalam aktivitas penerjemahan itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement