Rabu 29 Aug 2018 15:14 WIB

LIPI: Elite Politik Harus Beri Contoh Politik Santun

Pemilu terakhir, yakni pada 2014, meninggalkan warisan ketidakrukunan sosial.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Esthi Maharani
Peneliti Senior LIPI R Siti Zuhro.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Peneliti Senior LIPI R Siti Zuhro.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan para elite politik harus memberikan contoh berpolitik secara santun dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2019. Sikap para elit politik yang tidak santun berpotensi mengancam kerukunan masyarakat akibat kontestasi pemilu.

Siti menyebut adab dan kesantunan masyarakat sudah luntur akibat perbedaan sikap politik saat pemilu. "Keduanya jadi menurun drastis karena semua dimaknai sebagai kontestasi," ujar Siti dalam paparan rilis survei PolMark Indonesia, di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (29/8).

Siti mengingatkan jika Indonesia sudah melakukan lebih dari lima kali Pemilu nasional. Namun, pelaksanaan Pemilu terakhir, yakni pada 2014, meninggalkan warisan ketidakrukunan sosial.

Kondisi ini semakin dipertajam setelah adanya kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Siti mengingatkan jika dua kontestasi pemilihan ini membuktikan kontestasi bukan termasuk nilai-nilai budaya lokal masyarakat Indonesia. Dia pun menegaskan jika pemilu juga bukan produk asli bangsa Indonesia. Pemilu, kata dia, sejalan dengan demokrasi .

"Pemilu dan demokrasi itu produk impor. Demokrasi itu mensyaratkan tingkat pendidikan penduduk yang cukup. Sementara berdasarkan data BPS, tingkat pendidikan rata-rata orang Indonesia masih sekitar 7,5 tahun saja. Maka demokrasi di negara kita ini seharusnya yang sarat dengan nilai budaya bangsa," ungkapnya.

Nilai-nilai itu, kata Siti, harus dicontohkan oleh para elit politik dan para aktor politik. Menurutnya, demokrasi Indonesia harus tetap santun, tertib, saling menghormati. Siti mencontohkan kontestasi 171 daerah pelaksana Pilkada Serentak 2019 yang tertib. Dia pun menggarisbawahi dua provinsi besar yang menggelar Pilkada 2019, yakni Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di dua daerah besar itu, kontestasi Pilkada berlangsung sengit. Namun, kedua daerah dianggapnya mampu menyelesaikan proses pilkada dengan tertib dan santun.

"Jadi harus ada pembelajaran dari elit politik. Kalau mereka tidak memberi edukasi politik yang baik, maka Indonesia akan selesai. Kesantunan kita sudah menurun akibat kontestasi politik dalam pemilu," tegasnya.

Sebelumnya, berdasarkan  hasil olahan data lembaga PolMark Indonesia terhadap 73 survei Polmark Research Center (PRC) dari rentang waktu sejak 15 Januari 2016 sampai 11 Juni 2018 dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, menyebut pemilu berpotensi mengancam retaknya kerukunan sosial. Hasil analisis PolMark Indonesia, 4,3 persen pemilih di Jakarta diketahui rusak hubungan pertemanannya karena Pilpres 2014. Sementara Pilkada DKI 2017 mengakibatkan 5,7 persen rusaknya hubungan pertemanan pemilih di Jakarta.

"Data menunjukkan angka 4,3 persen dan 5,7 persen tergolong kecil, namun jika angka itu diproyeksikan ke jumlah pemilih maka jumlahnya signifikan mengancam retaknya kerukunan sosial," ujar Direktur Riset PolMark Indonesia Eko Bambang Subiyantoro dalam diskusi PolMark Indonesia bertajuk Pemilu dan Ancaman Retaknya Kerukunan Sosial di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta, Rabu.

Eko mengingatkan 1.000 hubungan sosial retak adalah jumlah statistik, tetapi satu hubungan sosial retak saja merupakan tragedi kemanusiaan atau tragedi demokrasi. Menurutnya, dalam demokrasi yang mapan dan terkonsolidasi dipersyaratkan, pemilu diterima sebagai satu-satunya cara bermain dan diterima semua orang. "Karenanya proses dan hasil Pemilu semestinya tak boleh membuat luka sosial atau merusak hubungan pertemanan bagi siapapun," ujar Eko.

Hasil olahan data lembaga PolMark Indonesia terhadap 73 survei Polmark Research Center (PRC) dari rentang waktu sejak 15 Januari 2016 sampai 11 Juni 2018 dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota menggunakan multistages random sampling. Dengan rincian jumlah responden untuk masing masing tingkat nasional sebanyak 2.250 orang dengan margin of error 2,1 persen atau 2.600 orang dengan margin of error 1,9 orang.

Lalu jumlah responden di tingkat provinsi dengan 1.200 orang dengan margin of error 2,9 persen. Kemudian, di tingkat kabupaten/kota dengan 800 responden dengan margin of error 3,4 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement