Rabu 29 Aug 2018 16:48 WIB

Sekjen PBB Minta Bantuan Dewan Keamanan untuk Desak Myanmar

Myanmar didesak menyelesaikan krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Sekjen PBB Antonio Guterres.
Foto: EPA
Sekjen PBB Antonio Guterres.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk mendesak Myanmar bekerja sama dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya. Ia menggambarkan situasi Rohingya sebagai salah satu krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia terburuk di dunia.

"Saya meminta anggota Dewan Keamanan bergabung dengan saya mendesak Pemerintah Myanmar untuk bekerja sama dengan PBB dan memastikan akses segera, tanpa gangguan, serta efektif untuk lembaga dan mitranya," kata Guterres dalam sebuah pidato di kantor Dewan Keamanan pada Selasa (28/8).

Dalam kesempatan itu, Guterres juga menceritakan pengalamannya mengunjungi tenda-tenda pengungsi Rohingya di Bangladesh pada Juli lalu. Ia mengaku sangat terenyuh mendengar berbagai cerita penganiayaan dan kekejaman yang mereka alami.

"Seorang ayah menangis ketika dia menceritakan bagaimana putranya ditembak mati di depannya, ibunya dibunuh secara brutal, dan rumahnya terbakar habis. Dia berlindung di masjid hanya untuk ditemukan tentara yang menyiksanya dan membakar Alquran," kata Guterres, dikutip laman UN News.

Banyak pula para pengungsi yang mencurahkan tentang keinginannya untuk diakui sebagai warga negara sah oleh Myanmar. Sebab, selama ini mereka kerap disebut imigran gelap dari Bengal.

Guterres menekankan, PBB harus mengikuti kerangka yang ditetapkan mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan. Selama masih ada penganiayaan atau persekusi terhadap Rohingya di Rakhine, para pengungsi di Bangladesh tak boleh diizinkan kembali.

Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, diadili di Pengadilan Pidana Internasional (ICC).

Sejak Agustus 2017, lebih dari setengah juta etnis Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh. Mereka kabur guna menghindari kebrutalan militer Myanmar yang menggelar operasi pemburuan terhadap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army. Dalam operasinya, militer Myanmar turut menyerang dan menumpas warga sipil di daerah tersebut.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan itu belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement