REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan untuk keluar dari pekerjaan seringkali harus tertunda karena tidak punya nyali untuk mengutarakannya secara langsung kepada atasan. Sebuah perusahaan di Jepang bernama Exit bersedia melakukannya untuk karyawan yang ingin resign tanpa harus bertatap muka dengan bos.
Bagi karyawan full-time, Exit menawarkan harga jasa sebesar 450 dolar AS atau Rp 6,4 juta untuk membantunya berbicara dengan bos. Sedangkan bagi mereka yang bekerja paruh waktu dikenai biaya 360 dolar atau Rp 5,1 juta. Sementara untuk klien yang sudah berlangganan, Exit memberi potongan harga sebesar 90 dolar atau Rp 1,2 juta.
Berbasis di Tokyo, Exit merupakan bagian dari perusahaan rintisan yang dijalankan oleh Yuichiro Okazaki dan Toshiyuki Niino. Baru dibuka akhir tahun lalu, dilansir dari NPR, perusahaan ini dikabarkan telah mampu meraup keuntungan. Menurut Okazaki, permintaan terhadap jasa ini cukup tinggi di Jepang.
"Secara pribadi, saya cukup bingung mengapa orang-orang sulit untuk berbicara langsung dengan bosnya untuk berhenti. Namun ini ternyata lazim di Jepang," kata Okazaki.
Meski banyak karyawan merasa tertekan di lingkungan kerja, mereka terpaksa harus bertahan karena memiliki perasaan tidak enak untuk keluar dari pekerjaan. Di situsnya, Exit memaparkan sejumlah kasus saat membantu klien.
Rata-rata yang menggunakan jasa Exit adalah mereka dengan rentang usia 20 sampai 30 tahun yang bekerja di bidang marketing, produksi laman jejaring hingga koki sebuah restoran. Beberapa diantara mereka merasa tidak cocok dengan pekerjaan. Ada pula yang terlibat sebuah masalah dengan supervisor.
Dengan adanya perusahaan seperti Exit ini, para klien terbantu untuk menghindari kecemasan karena berhadapan dengan bos. Mereka juga terhindar dari bos yang berupaya untuk membuat mereka tetap bekerja di perusahaan.
Selama beberapa dekade, budaya kerja Jepang menghendaki para karyawan untuk bekerja hanya di satu perusahaan selama bertahun-tahun. Alasan diterapkannya budaya ini sebagai bentuk loyalitas dan kesetiaan karyawan terhadap perusahaan.
Namun, perlahan budaya ini mulai meluntur. Banya karyawan yang memilih untuk pindah pekerjaan. Ini pun mendapat dukungan dari pemerintah Jepang. "Jumlah karyawan yang berganti pekerjaan meningkat selama tujuh tahun terakhir hingga mencapai 3.11 juta orang di 2017," dilaporkan oleh Wall Street Journal pada Maret lalu.