Kamis 30 Aug 2018 06:50 WIB

Jejak Islam di Negeri Koral

Sejarah masuknya Islam Islam menjadi agama resmi negara itu pada 1153 Masehi.

Rep: c15/ Red: Agung Sasongko
Maladewa
Foto: SilkAir
Maladewa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maladewa adalah sebuah negara dengan 1.200-an pulau koral. Negara berpenduduk mayoritas Muslim itu terletak di selatan barat daya India, sekitar 700 kilometer sebelah barat daya Sri Lanka. Negeri yang dikenal dengan alamnya yang mengagumkan itu menyimpan sejarah perkembangan Islam yang luar biasa.

Sebuah pusat penelitian Islam, Royal Islamic Strategic Research Center (RISSC), tahun lalu, melaporkan hasil penelitian yang menyebut Maladewa sebagai sebuah negara Muslim. Menurut Minivan News, sebuah laman berita di Maladewa, jumlah pemeluk Islam di negara itu mencapai 99,41 persen dari total jumlah penduduknya.

Konstitusi Maladewa mengklaim bahwa penduduknya 100 persen Muslim. Namun, menurut data pada Pew Research Center, pada Oktober 2009, populasi Muslim mencapai 98,4 persen dari 304 ribu total penduduk negara itu.

Di seantero negeri yang luas daratannya hanya 298 kilometer persegi itu memiliki 725 masjid. Jumlah itu belum termasuk 266 masjid lainnya yang dikhususkan bagi kaum perempuan. Namun, delapan tahun kemudian, pada Juni 2009, Pemerintah Maladewa mengumumkan pihaknya menutup seluruh masjid khusus tersebut.

Alasannya, untuk mengurangi pengeluaran pemerintah terkait pengelolaan masjid dan menekankan bahwa tempat shalat terbaik bagi perempuan adalah di rumah. Islam menjadi bagian penting dari negara bermata uang rufiyaa itu. Hari Jumat menjadi hari istimewa sehingga hari kerja ditetapkan mulai Ahad hingga Kamis.

Pada bulan Ramadhan, seluruh kafe dan restoran tutup dan pemerintah membatasi jam kerja. Pun setiap azan dikumandangkan lima kali sehari, kafe, restoran, serta pertokoan menghentikan aktivitas perniagaan mereka selama 15 menit.

Hari Jumat menjadi hari terpenting Muslim Maladewa untuk mengunjungi masjid. Untuk itu, pertokoan dan perkantoran di seluruh penjuru negara mengakhiri aktivitas mereka pada pukul 11.00 siang. Khotbah Jumat dilaksanakan 1,5 jam setelahnya atau sekitar pukul 12.30. Islam menjadi salah satu bagian hidup terpenting penduduk Maladewa dan menjadi satu-satunya agama yang diakui di negara tersebut.

Sejarah masuknya Islam Islam menjadi agama resmi negara itu pada 1153 Masehi. Sebelumnya, Maladewa merupakan negara Buddha. Menurut legenda, ada seorang Muslim Sunni dari Maghrib (Afrika Utara), tepatnya Maroko, yang membawa Islam ke Maladewa.

Sang Muslim pembawa syiar yang juga seorang hafiz itu bernama Abul Barakat Yoosuf Al Barbary. Ia tiba di Kota Male (sekarang Ibu Kota Maladewa) dan menetap di sana untuk menyebarkan Islam.

Legenda tersebut didasarkan pada kisah seorang musafir Muslim Berber asal Maroko, Abu Abdullah Muhammad Ibnu Battuta (1304?1368), dalam catatan perjalanannya, Rihla (The Journey). Menurut Jawaharlal Nehru dalam Glimpses of World History, Ibnu Battuta adalah seorang penjelajah ulung.

Ia menghabiskan 30 tahun, di antaranya untuk menjelajah Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, bagian barat Eropa Timur, Timur Tengah, Asia Selatan, dan bagian timur Cina. Ibnu Battuta juga dikenal sebagai Shams ad-Din(AS Chughtai, 1990 dalam Ibn Battuta?The Great Traveler).

Menurut Thangeehu Kurevunu Dhivehi Raajjeyge Thaareekhuge Thanthankolhu (kutipan-kutipan dari sejarah Maladewa yang telah diteliti), Abul Barakat berhasil mengislamkan Maladewa setelah melalui perjuangan yang panjang dan rumit. Upaya pertamanya gagal sebelum akhirnya ia memilih mengenalkan syiar Islam di kalangan kerajaan.

Karena itu, orang pertama yang memeluk Islam kala itu adalah sang raja, Sri Tribuvana Aditiya, yang kemudian diikuti istri dan anak-anaknya. Setelah memeluk Islam, raja mengadopsi sebuah nama Islam, yakni Muhammed Ibn Abdulla. Raja (kemudian diganti menjadi sultan) yang telah memimpin sejak 1138 M itu lalu mengirimkan misionaris- misionaris Islam ke berbagai penjuru Maladewa untuk menyebarkan Islam. Setelah penduduk Maladewa memeluk Islam, candi- candi serta patung-patung Buddha dihancurkan.

Penggalian arkeologi yang dilakukan dalam abad ini membenarkan fakta mengenai keberadaan candi-candi tersebut selama abad ke-12 Masehi. Masih menurut legenda yang sama, Sultan Muhammed Ibn Abdulla yang menugaskan pembangunan Masjid Dharumavantha Rasgefaanu Miskiiy (diadopsi dari kata mosque), termasuk juga cikal bakal pembangun an Hukuru Miskiiy pertama yang kini dikenal pula dengan nama Friday Mosque.

Dan, Abul Barakat, sang pembawa Islam, diminta menetap di Maladewa untuk mengajarkan Islam kepada penduduk di sana. Abul Barakat akhirnya meninggal, masih dalam masa kekuasaan Sultan Muhammed Ibn Abdulla. Menurut sejarawan Hassan Thaajuddheen, seperti dikutip maldivesstory.com.mv, Abul Barakat dimakamkan di Medhuziyaaraiy di Kota Male.

Medhuziyaaraiy kini menjadi salah satu situs suci yang terletak di samping istana kepresidenan dan menjadi daya tarik wisata di Maladewa. Dalam bahasa Dhivehi, medhu berarti pusat atau tengah, sedangkan ziyaaraiy berarti makam.

Gelar terkenal yang disematkan pada Sultan Muhammed Ibn Abdulla, yakni Dharumavantha Rasgefaanu (yang kemudian diadopsi sebagai nama masjid yang dibangun semasa hidupnya), menun- jukkan bahwa sang Sultan adalah seorang yang saleh dan baik hati. Dalam English-Dhivehi and Dhivehi- English Dictionary?A Guide to The Language od Maldives Version 1.0(2005), dharumavantha berarti righterous atau benar dan baik secara moral. Sedangkan, rasgefaanu berarti king atau raja sehingga gelar Dharumavantha Rasgefaanu berarti Raja yang Baik.

Selama masa kekuasaannya saat memimpin Maladewa pada abad ke-12, Muhammed Ibnu Abdulla dikisahkan terus berjuang memperkuat ketaatan masyarakat pada aturan dan prinsip-prinsip Islam. Ia juga menyusun aturan hukum untuk pemerintahan dan menghancurkan simbol-simbol agama Buddha.

Disebutkan dalam legenda bahwa beberapa lama setelah meninggalnya Abul Barakat, sang Sultan pergi berhaji ke Makkah dan tidak pernah kembali. Selain legenda tersebut, sebuah versi lain dari tradisi Maladewa menyebutkan bahwa Muslim yang telah mengislamkan Maladewa bukanlah Abul Barakat Yoosuf Al Barbary, melainkan orang suci dari Persia bernama Yusuf Shamsuddin.

Ia datang dari Tabriz (sebuah kota di barat laut Iran) sehingga disebut pula dengan nama Tabrizugefaanu. Makamnya ada di antara sejumlah makam di pekarangan di salah satu sudut Hukuru Miskiiy (Friday Mosque) yang terletak di Ibu Kota Male.

Dalam Wikipedia disebutkan, sejak abad ke-12 M, terjadi pengaruh yang terus-menerus dari Arabia, terutama dalam aspek bahasa dan budaya. Hal itu didukung pula oleh posisi Maladewa yang strategis di tengah Samudra Hindia, yang menjadi jalur perdagangan antara negara- negara Timur Jauh dan Timur Tengah.

Negara dengan luas daratan terkecil di Asia tersebut lebih kecil dari Singapura, merdeka dari Britania Raya pada 26 Juli 1965 dan memiliki populasi sekitar 350 ribu jiwa.

Dalam aspek tasawuf, Muslim di negara tersebut masih mempertahankan sejumlah ritual Islam hingga saat ini. Salah satunya adalah upacara zikir yang disebut Maul'du (Mawlid), yakni ritual ibadah yang mencakup bacaan dan doa dalam nada melodis terten- tu. Maul'du diadakan di tenda-tenda yang dibangun khusus untuk acara tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement