Kamis 30 Aug 2018 07:23 WIB

Koalisi Saudi tak Terima Dituding Bunuh Warga Sipil di Yaman

Laporan PBB menyebut Koalisi Saudi telah melakukan kejahatan perang di Yaman.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Sslah satu sudut kota di Yaman, usai perang.
Foto: Reuters
Sslah satu sudut kota di Yaman, usai perang.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Koalisi Saudi pada Rabu (29/8) mengecam laporan PBB yang menyebut koalisi melakukan kejahatan perang di Yaman. Menurut koalisi, hasil laporan oleh ahli Dewan HAM PBB itu tidak akurat dan bias.

Laporan yang dirilis sehari sebelumnya mengatakan pemboman di Yaman yang dilakukan koalisi telah menyebabkan banyak korban sipil. Hal itu meningkatkan kekhawatiran tentang proses penargetan koalisi. Selain itu, pembatasan pelabuhan Laut Merah dan bandara Sanaa telah mencabut pasokan penting bagi warga Yaman.

Panel itu juga menyebut Houthi bersalah atas kejahatan perang. Houthi dituduh membatasi akses untuk bantuan kemanusiaan dan mewajibkan tentara anak.

Kelompok Houthi, yang menguasai ibu kota dan sebagian besar wilayah barat negara itu, secara teratur menembakkan rudal ke Arab Saudi selatan. Rudal juga beberapa kali menyasar ibu kota Riyadh atau fasilitas perusahaan minyak negara Aramco.

"Laporan itu memiliki beberapa kesalahan metodologis dan salah mengartikan fakta-fakta konflik. Ini mengabaikan alasan sebenarnya untuk konflik yang merupakan kudeta dari milisi Houthi yang didukung Iran terhadap pemerintah yang sah di Yaman," kata sebuah pernyataan yang diterbitkan oleh Saudi melalui kantor berita negara SPA.

Arab Saudi memimpin aliansi yang didukung Barat ingin mengembalikan pemerintahan yang diakui secara internasional Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi. Hadi digulingkan dari ibu kota Sanaa oleh Houthi pada 2015.

Laporan itu adalah investigasi pertama PBB tentang kemungkinan kejahatan perang di Yaman, meskipun kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional telah secara teratur mendokumentasikan pelanggaran. Itu dirilis menjelang pembicaraan damai PBB antara pemerintah Hadi dan Houthi yang dijadwalkan berlangsung 6 September di Jenewa.

Koalisi mengatakan akan memberikan respons hukum yang komprehensif dan terperinci di lain waktu. Koalisi menolak pernyataan laporan PBB yang menyebut koalisi tidak bekerja sama atau memberikan informasi kepada panel.

Para ahli mengatakan mereka tidak memeriksa AS dan Inggris, yang memasok senjata dan intelijen ke aliansi, atau dukungan Iran untuk Houthi. Tetapi badan-badan PBB lainnya melakukan penelitian itu. Mereka mendesak semua negara untuk membatasi penjualan senjata agar membantu mengakhiri perang.

Menurut PBB, Yaman akan menghadapi krisis kemanusiaan yang paling parah di dunia. Jutaan orang berpotensi kelaparan jika perang mengganggu jalur pasokan yang diperlukan untuk membawa bantuan.

Perang sejauh ini telah menarik perhatian publik yang relatif sedikit di negara-negara Barat. Tetapi tren itu dinilai mulai berubah, terutama karena peran pemerintah Barat dalam memasok senjata ke negara-negara koalisi.

Editorial New York Times pada Rabu mengutuk  "keterlibatan Amerika" dalam korban sipil, termasuk puluhan anak-anak yang tewas awal bulan ini dalam serangan  di bus. Editorial itu mendesak Kongres untuk memotong bantuan militer ke Arab Saudi.

"Arab Saudi dan sekutunya tampaknya memiliki sedikit kompromi tentang pembunuhan anak-anak selama lebih banyak bom dapat dibeli, jadi terserah pada penjual untuk memungkinkan menghentikannya," katanya.

Di Washington pada Selasa, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis mengatakan dukungan AS untuk koalisi yang dipimpin Saudi bukan tanpa syarat. Ia mengatakan AS akan terus mendukung aliansi untuk mengurangi dampak pada warga sipil.

Amnesty International menyerukan kepada Washington, London dan negara lain untuk melakukan segala upaya dalam mencegah pelanggaran lebih lanjut. Hal itu termasuk segera menghentikan aliran senjata ke negara itu dan mengakhiri pembatasan sewenang-wenang koalisi pada bantuan kemanusiaan dan impor penting.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement