REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kepala Badan HAM PBB Zeid Ra'ad al Hussein menilai pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi seharusnya mengundurkan diri menyusul kampanye kekerasan militer terhadap minoritas Muslim Rohingya tahun lalu. Upaya pemenang hadiah Nobel Perdamaian itu untuk memberikan argumen sangat disesalkan.
"Dia berada dalam posisi untuk melakukan sesuatu. Dia bisa tetap diam - atau bahkan lebih baik, dia bisa mengundurkan diri," kata Hussein seperti dilansir di BBC, Kamis (30/8).
Komentar Al Hussein muncul setelah laporan PBB menyebut para pemimpin militer Myanmar harus dituntut atas tindakan yang mengarah genosida. Myanmar menolak laporan itu dan menegaskan tak menoleransi atas pelanggaran hak asasi manusia.
Baca juga, Militer Myanmar Sebut tak Ada Rohingya yang Terbunuh.
Laporan PBB yang diterbitkan pada Senin (27/8), juga menyalahkan Suu Kyi, tokoh gerakan pro-demokrasi, karena gagal mencegah kekerasan. Sementara tentara yang dituduh melakukan pembersihan etnis secara sistematis telah 'cuci tangan' atas kejahatan mereka.
"Tidak perlu baginya untuk menjadi juru bicara militer Burma," kata Hussein. "Dia bisa mengatakan, saya siap untuk menjadi pemimpin nominal negara tetapi tidak dalam kondisi seperti ini."
Pada Rabu, komite Nobel mengatakan, Nobel Perdamaian Suu Kyi tidak dapat ditarik. Nobel itu dia dapatkan pada 1991. Meski memerintah, wanita berusia 73 tahun itu tidak mengontrol militer. Militer melancarkan operasi keras di negara bagian Rakhine, Myanmar, tahun lalu setelah militan Rohingya disebut melakukan serangan mematikan di pos polisi.
Ribuan orang telah tewas dan lebih dari 700 ribu orang Rohingya telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh sejak Agustus 2017.
Orang Rohingya adalah minoritas Muslim di Myanmar. Mereka dianggap imigran gelap dari Bangladesh meskipun menyebut negara Rakhine sebagai rumah selama beberapa generasi.