REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Bijih kopi hasil kebun rakyat di wilayah Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, masih tertatih-tatih untuk mendapatkan harga jual yang bisa membuat senyum petaninya mengembang.
Padahal, tanaman kopi yang dibudidayakan warga ini telah mengantongi sertifikasi Indonesia Organic Farming Certification (INOFICE), sebagai komoditas organik yang ditanam pada lahan rendah karbon.
Bahkan, pangsa pasar yang telah merambah Timur Tengah, Jepang, Kanada, Prancis, Italia, dan Inggris pun masih terlalu ‘rapuh’ untuk membantu memperbaiki kesejahteraan para petaninya.
“Kami butuh kehadiran pemerintah, guna menyelamatkan para petani kopi di wilayah Kecamatan Jambu,” ungkap Camat Jambu, Moh Edy Sukarno, kepada Republika.co.id, Kamis (30/8).
Ia mengakui, semangat para petani untuk mempertahankan produksi komoditas kopi, yang kini populer dengan julukan ‘kopi kelir’ tersebut, sangat besar. Apalagi, kopi menjadi salah satu komoditas primadona perdagangan internasional.
Kendati begitu, para petani yang umumnya memberdayakan kopi di lereng Gunung Kelir ini belum dapat merasakan hasil yang maksimal, ketika komoditas yang mereka hasilkan tersebut mulai digemari pasar internasional.
Karena komoditas kopi ini masih belum bisa menembus dominasi kopi Vietnam di pasar internasional. Alhasil, harga jual produk petani ini masih berada di bawah bayang-bayang kopi dari negara tetangga tersebut.
“Di sinilah, yang kami maksudkan kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendorong pamor komoditas kopi lokal, termasuk kopi rakyat Jambu ini bisa terangkat,” kata Edy.
Sejauh ini, lanjutnya, berbagai inovasi dan upaya untuk menjaga kualitas produksi bijih kopi sudah diupayakan petani. Misalnya mengupayakan sertifikasi INOFICE hingga peningkatan kualitas produk melalui pengelolaan pascapanen.
Bahkan proses pengelolaan pascapanen kopi di Kecamatan Jambu ini menjadi rujukan belajar, bagi para petani kopi Timor Leste. Namun, semua ini belum cukup membantu mengangkat pamor ‘kopi Kelir’ ini.
Ia berharap, pemerintah bisa membantu para petani untuk memperkuat branding kopi rakyat Jambu di pasar internasional. “Sayang jika semangat petani ini kurang mendapatkan dukungan pemerintah,” tegasnya.
Hal ini diamini oleh salah satu pengurus Kelompok Tani Karya Bakti II, Kelurahan Brongkol, Suharno (50). Menurutnya, para petani kopi rakyat jenis Robusta di Kecamatan Jambu, dalam dua tahun terakhir, semakin fokus pada perbaikan dan pengayaan varian pengolahan setelah panen.
Selain green bean, kelompok tani juga menghasilkan bijih kopi proses honey, semi-washed, full washed, hingga menghasilkan wine coffee. Harapannya, kopi jambu ini bisa ‘aik kasta’ untuk menopang kesejahteraan kelompok tani dan para petani.
“Pemasaran pun juga sudah terbangun akan terus kami sempurnakan, prinsipnya kami siap menjaga stabilitas kualitas kopi lokal ini agar mendapatkan tempat di pasar kopi yang lebih luas,” jelasnya.
Hingga Juli 2018, lanjut Suharno, di Kecamatan Jambu sedikitnya ada 3.663 kepala keluarga (KK) pemilik lahan kebun kopi dengan luasan lahan mencapai 948 hektare.
Lahan tanaman kopi ini mampu menghasilkan produk pengolahan seperti green bean hingga kisaran rata-rata 750 ton sampai 1.100 ton.
“Siklus panen raya empat tahunan dan terakhir berlangsung pada panen raya tahun 2017 dengan produktivitas 850 kilogram per hektare,” ujar dia.