Sabtu 01 Sep 2018 07:32 WIB

Asosiasi Sebut Jumlah Fintech Syariah Semakin Bertambah

Rata-rata fintech syariah masih berbentuk crowdfunding

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
PT Zahir Internasional kini mempunyai layanan fintech syariah yang dinamakan Zahir Capital Hub.
Foto: Dok Zahir
PT Zahir Internasional kini mempunyai layanan fintech syariah yang dinamakan Zahir Capital Hub.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah perusahaan financial technology (fintech) syariah di Tanah Air semakin bertambah. Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) mencatat, saat ini ada 27 teknologi finansial (fintech) syariah.

Sebelumnya pada Desember 2017, ketika asosiasi baru berdiri hanya ada 10 fintech syariah lalu setelah mendapat undangan dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) bertambah lagi menjadi sekitar 18.

Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (ASFI) Ronald Yusuf Wijaya mengatakan, model bisnis fintech di AFSI beragam meliputi peer to peer (p2p) lending, aggregator, dan lainnya. Hanya saja rata-rata merupakan fintech crowdfunding.

Setelah PT Ammana Fintek Syariah dan PT Dana Syariah Indonesia resmi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada tujuh lagi yang tengah mendaftar ke regulator. “Dalam waktu dekat atau satu sampai dua bulan ke depan, ada empat fintech syariah anggota ASFI yang akan terdaftar di OJK. Dokumennya sudah lengkap sedang menunggu survei,” kata Ronald kepada Republika.co.id.

Dirinya menuturkan, keberadaan asosiasi bertujuan mendukung perkembangan fintech syariah di Indonesia. Alasannya, meski berprospek besar tapi masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi terutama sosialisasi.

Banyak orang belum mengetahui keberadaan layanan keuangan syariah berbasis teknologi ini. Maka, AFSI kemudian datang ke kampus-kampus demi melakukan sosialisasi.

Tantangan berikutnya, kata Ronald, terletak pada proses perizinan yang agak panjang bagi fintech syariah. “Apalagi ketika DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia) dan OJK belum memiliki divisi khusus untuk menangani fintech syariah namun sekarang sudah beres karena MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor 117/DSN-MUI/IX/2018 terkait fintech,” ungkap Ronald.

Kendati demikian, kata dia, pengajuan izin tetap ke OJK. Hanya saja, kini tengah didiskusikan apakah tidaknya sertifikasi DSN atau cukup izin dari OJK saja.

“Ya daripada capek-capek MUI kasih sertifikasi tapi tetap harus izin ke OJK. Buat apa? Maka idealnya OJK dulu baru kalau sudah oke ke tahap selanjutnya untuk pastikan akad yang digunakan fintech syariah sesuai. Nah di sini ASFI diminta sebagai perpanjangan tangan OJK,” tuturnya.

Ke depannya, kata Ronald, asosiasi bakal menjadi gerbang pertama untuk menyaring bisnis perusahaan fintech syariah yang akan mendaftar di OJK. Selanjutnya, ASFI akan memberikan rekomendasi ke OJK. Bila sudah disetujui OJK, barulah fintech tersebut ke DSN MUI guna mendapatkan sertifikasi.

Ia menambahkan, rencana tersebut kini tengah didiskusikan dengan seluruh stakeholder terkait. Walau belum difinalkan, namun kemungkinan alur pendaftaran tersebut bagi fintech syariah diberlakukan tahun ini.

“Memang seolah proses perizinan bagi fintech syariah lebih sulit, tapi memang harus seperti ini agar platform-nya terkualifikasi. Buat kami ini jadi kekuatan ketika kami promosikan fintech syariah depan publik,” katanya optimistis. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement