REPUBLIKA.CO.ID, KHUZAA — Setiap Jumat, seorang relawan medis di Jalur Gaza, Palestina bernama Asmaa Qudih memiliki kebiasaan tertentu sebelum pergi bekerja. Ia berdoa, mencium tangan sang ibu, dan mulai mengemas barang bawaan yang diperlukan.
Qudih bersiap untuk menyambut aksi unjuk rasa yang digelar setiap pekan di sepanjang pagar perbatasan antara Jalur Gaza dan Israel. Ia menyadari bahwa mengobati mereka yang terluka bisa menjadi hal yang sangat berbahaya.
Dalam lima bulan terakhir, aksi unjuk rasa tersebut telah membuat banyak nyawa terenggut. Tak terkecuali petugas medis, yang tercatat telah tiga orang tewas akibat ditembak oleh pasukan tentara Israel.
Sementara itu, puluhan pekerja medis lainnya, termasuk Qudih juga menderita luka-luka. Banyak di antaranya yang terkena percikan api dari tembakan serta gas air mata.
Qudih mengatakan bahwa aksi unjuk rasa setiap pekan itu mungkin menakutkan bagi banyak orang, termasuk para relawan di sana. Namun, perempuan berusia 35 tahun itu juga tak dapat menahan rasa bangga karena baginya, pekerjaannya itu adalah bentuk pengabdian terhadap agama dan profesionalisme.
“Selama Anda bekerja di lapangan, Anda harus siap kapanpun dapat terluka atau bahkan terbunuh,” ujar Qudih dilansir Fox News, Sabtu (1/9).
Sebelum pergi meninggalkan rumah, Qudih selalu memeriksa ransel merah yang ia bawa untuk bekerja. Mulai dari perban, selotip, hingga semprotan saline sudah pasti tersedia di dalamnya. Ia kemudian berpamitan dengan sang ibu, serta keponakan-keponakannya.
“Ia pergi menentang nasihatku, tapi ini adalah hal yang ia putuskan,” ujar Fatma, ibu dari Qudih.
Dalam aksi unjuk rasa lalu, sejumlah saksi mengatakan seorang paramedis bernama Shorouq Msameh terkena tembakan ketika berdiri sekitar 300 meter dari pagar perbatasan Jalur Gaza. Saat ini berada dalam kondisi kritis di Rumah Sakit Khan Younis. Tak diketahui apa yang membuatnya menjadi sasaran tembak pasukan Israel.
Kecaman international telah datang terhadap Israel yang diduga menggunakan kekuatan berlebihan dalam menghadapi aksi protes di Jalur Gaza. Sebagian besar korban yang ada dalam insiden tersebut adalah warga sipil dan pekerja medis.
Organisasi kesehatan Dunia sebelumnya sudah memperingatkan bahwa Israel wajib mengizinkan petugas medis bekerja dengan aman. Sementara itu, Israel mengatakan bahwa tidak sengaja menembak petugas medis dan bahkan sebenarnya mencoba melindungi mereka.
Dalam lima bulan terakhir aksi unjuk rasa di Jalur Gaza digelar, tercatat sebanyak 125 warga Palestina tewas dan 4.500 lainnya terluka akibat tembakan. Paramedis yang tewas di antaranya adalah Razan Najjar yang memicu kemarahan internasional karena ia tertembak di bagian dada, saat baru saja selesai mengobati demonstran yang terluka.