Ahad 02 Sep 2018 08:57 WIB

Redupnya Pesona Iskandariyah

Sejak perang salib hingga jatuhnya Kontantinopel, Iskandariyah meredup

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Iskandariyah, Mesir.
Foto: http://goeliteclub.com
Iskandariyah, Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Perang Salib berlangsung antara 1096 dan 1291 M. Dalam periode tersebut, ada delapan pertempuran yang memperhadapkan tidak hanya Kristen dan Muslim, tetapi juga antara sekte-sekte tertentu di internal umat Nasrani.

Menjelang akhir abad ke-13, Kesultanan Mamluk berhasil menguasai basis terakhir pasukan Salib di Akre, kini sebuah kota di Palestina Utara. Namun, sisa-sisa kekuatan mereka terus bertahan di sejumlah wilayah.

Paul Crawford dalam the Crusades An Encyclopediamenjelaskan, Peter I dari Siprus bersama dengan kanselir Philip pe de Mezieres, dan utusan kepausan Peter Thomas, berupaya menghidupkan lagi pasukan Salib pada pertengahan abad ke-14.

Kalangan sejarawan belum satu suara dalam menentukan, apakah semata-mata faktor agama, hasrat merebut Yerusalem dari tangan Muslimin, ataukah raja Siprus itu memiliki alasan-alasan lain yang lebih sosial-politis di balik rencananya.

Pada 1365, Peter I berhasil mengumpulkan pasukan Kristen dari Siprus, Prancis, dan Inggris. Jumlahnya mencapai 10 ribu orang, yang dilengkapi dengan 165 unit kapal dan 1.400 ekor kuda.

Mereka semua berkumpul di Pulau Rhodes (Yunani). Sasaran awalnya adalah Iskandariah, kota pelabuhan ter pen ting di Mesir.Untuk kemudian, rencananya pasukan Salib terba rukan ini hendak memasuki Yerusalem dari arah selatan.

Gerombolan ini tiba di Iskandariah pada 9 Oktober 1365. Langsung saja mereka menyerbu rumah-rumah penduduk setempat dan pelbagai fasilitas publik yang ada. Keadaan kota tersebut sesungguhnya dalam masa damai.

Oleh karena itu, sejumlah benteng kota tidak cukup siap dalam menghadapi serangan yang amat mendadak. Hanya dalam beberapa jam, Peter I dan pasukannya dapat menduduki seluruh Iskandariah.

Ratusan orang tewas. Tidak kurang dari lima ribu orang dijadikan budak. Pasukan Salib membakar hampir seluruh masjid, gereja, kuil, dan perpustakaan kota. Seluruh harta benda yang dirampoknya sangat banyak.

Lebih dari 70 unit kapal bermuatan sesak dengan barang-barang berharga yang mereka rampas dari penduduk setempat. Adapun kapal-kapal sisanya digunakan untuk mengangkut para tawanan.

Kerajaan Mamluk tidak tinggal diam begitu menerima kabar nahas tersebut.

Sultan al-Ashraf Shaban segera menggerakkan pasukannya ke Iskandariah.

Menyadari hal itu, para pimpinan pasukan Salib bersilang pendapat.

Philippe de Mezieres ingin agar Iskandariah dipertahankan dari serangan balasan balatentara Muslim. Namun, mayoritas pasukan Salib ingin lekas pergi dari kota itu.

Peter I pun memerintahkan seluruh jajarannya agar meninggalkan Iskandariah pada 12 Oktober 1365.

Bubar sudah rencana mereka untuk melanjutkan konvoi ke Yerusalem. Walaupun berlangsung hanya be berapa hari, penaklukan atas Iskan dariah itu menandakan awal redupnya kota tersebut.

Ensiklopedia Historic Cities of the Islamic World menjelaskan, sultan-sultan Mamluk amat jarang mengunjungi wilayah di pesisir utara Mesir itu. Iskandariah justru dicitrakan sebagai daerah pembuangan bagi para tahanan politik.

Pada 1447, Sultan Qaitbay menambah luas benteng-benteng pertahanan kota serta melengkapinya dengan senjata meriam. Seorang pengelana Eropa menulis kesannya terhadap Iskandariah pada 1507, Tidak ada (pemandangan berkesan) yang didapati kecuali tumpukan batu dan jarang sekali jalan-jalan yang besar.

Sejak 1453, ibu kota Byzantium jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah. Namanya berubah dari Konstan tinopel menjadi Istanbul. Mulai saat itu, kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa mengalami kesulitan dalam memeroleh komoditas-komoditas impor dari Asia.

Sebab, banyak kota pelabuhan yang strategis di pesisir Asia Barat dan Afrika Utara telah menjadi wilayah Utsmaniyah. Hal itu mendorong para pedagang Eropa Kristen untuk menemukan rute maritim baru yang dapat membawa mereka sampai ke India dan Maluku, produsen utama rempah- rempah.

Pada 1519, Utsmaniyah melebarkan kekuasaannya hingga Iskandariah. Bandar kota tersebut sejak berabad-abad silam berfungsi sebagai pemasok rempah-rempah untuk pasar Eropa di Laut Tengah. Dengan jatuhnya Iskan dariah, orang-orang Eropa- Kristen makin terkendala dalam memenuhi impor dari Asia.

Padahal, kebutuhannya terhadap rempah-rempah meningkat pesat, terutama sejak akhir Perang Salib. Pertempuran dua abad lamanya itu tidak melulu konflik, tetapi juga perjumpaan budaya antara Barat dan Timur. Alhasil, masyarakat Eropa mulai mengenal sajian yang lebih beragam dengan racikan bumbu-bumbu penyedap khas Asia.

Beberapa penjelajah Eropa mulai merintis jalur laut yang menuju India dan Nusantara pada abad ke-15. Itulah awal dari Zaman Penjelajahan, yang akhirnya memunculkan kolonialisme modern seiring dengan revolusi industri pada akhir abad ke-18.

Sementara itu, Iskandariah tidak begitu ramai bila dibandingkan masa-masa sebelumnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement