REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu temuan penting di Iskandariah terjadi lantaran invasi Napoleon atas Mesir. Pada Agustus 1799, penjelajah Prancis, Bouchard, menemukan sebuah batu marmer besar dengan ukuran pan- jang 114 cm dan lebar 72 cm.
Pada permukaannya, terdapat tulisan dengan tiga aksara yang berbeda. Benda itu ditemukan di Kota Rashid (bahasa Prancis: Rosette), yang berja rak sekitar 55 km arah timur- laut Iskandariah. Oleh karena itu, namanya populer sebagai Batu Rosetta.
Penemuan Batu Rosetta terhitung signifikan bagi studi atas kebudayaan-kebudayaan kuno. Tulisan pada permukaannya diduga merupakan karya kaum pendeta Memphis.
Isinya adalah puji-pujian ter hadap Ptolemy V, raja Mesir periode 204-181 SM.
Yang menarik adalah, seluruh tulisan itu dibuat dalam dua bahasa, yakni Mesir dan Yunani, dengan memakai tiga abjad yang berbeda, yaitu Hi-eroglif, Demotik (keduanya dari Mesir Kuno), dan Yunani.
Oleh karena itu, penemuan Batu Rosetta amat membantu proses penerjemahan prasasti-prasasti Mesir Kuno, yang sampai saat itu belum bisa dilakukan.
Dua orang ilmuwan berjasa dalam membongkar makna tulisan yang tergurat pada Batu Rosetta.Mereka adalah Thomas Young (meninggal 1829) dari Inggris dan Jean-Francois Champollion (meninggal 1832) dari Prancis. Sete- lah Prancis hengkang dari Mesir pada 1801, benda yang tak ternilai harganya itu menjadi milik Kerajaan Inggris.
Sampai saat ini, Batu Rosetta dapat dilihat di ruang pameran British Museum, London. Sepanjang abad ke-19, Iskandariah tidak jauh berbeda daripada kota-kota di Mesir.
Modernisasi mulai terasa di negeri tersebut, lantaran penetrasi kolonialisme Barat.Pada 1821, populasi kota itu menanjak hingga 12.500 jiwa.
Beberapa puluh tahun kemudian, jumlahnya meningkat pesat hingga 60 ribu jiwa. Pada 1859, Institut d'Egypte yang dirintis Napoleon Bonaparte mulai dipulihkan fungsinya sebagai pusat studi segala hal tentang Mesir Kuno.
Berikutnya, pelabuhan kota ikut diperbaiki sehingga menjadi lebih mutakhir. Iskandariah mulai tampil sebagai kota metropolitan. Menjelang akhir abad itu, total penduduk setempat mencapai 230 ribu jiwa.