REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama KPU dan DKPP segera menggelar pertemuan pada Rabu (5/9). Pertemuan tripartit ini akan membahas tentang polemik putusan Bawaslu dan jajarannya yang meloloskan mantan narapidana korupsi menjadi bakal calon anggota legislatif (caleg).
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan KPU dan Bawaslu sama-sama punya argumentasi yang kuat soal mantan narapidana korupsi yang mendaftar sebagai bakal caleg dalam Pemilu 2019. Karena itu, masing-masing argumentasi akan dipaparkan pada pertemuan tripartit.
Selain itu, KPU dan Bawaslu ingin mengetahui pandangan dan argumentasi DKPP mengenai masalah ini. “Kami ikuti arahnya dan kami berharap dapat diselesaikan dengan baik, tetapi tetap menghormati hak konstitusional warga negara Indonesia," kata Bagja ketika dijumpai wartawan di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (3/9).
Bagja berpendapat, warga negara yang pernah menjadi terpidana tetap memiliki hak konstitusional. "Walaupun hak konstitusional ini bisa disimpangkan, tetapi disimpangkan itu juga dengan prosedur," tegasnya.
Terpisah, Ketua KPU, Arief Budiman, membenarkan agenda pertemuan tripartit yang rencananya digelar pada Rabu mendatang. "Kalau tidak ada halangan rencananya Rabu besok (akan bertemu)," ujar Arief di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin siang.
KPU saat ini belum menerima undangan pertemuan itu. Namun, menurutnya, pembicaraan antara tiga lembaga harus dilakukan untuk menyikapi perbedaan pendapat soal mantan narapidana korupsi yang mendaftar sebagai bakal caleg.
Sebelumnya, Komisioner KKU llham Saputra mengatakan pihaknya sudah mengirimkan surat edaran (SE) kepada semua jajaran KPU daerah terkait mantan narapidana kasus korupsi yang mendaftar sebagai bakal caleg DPRD provinsi, kabupaten, kota dan calon anggota DPD pada 31 Agustus 2018. SE tersebut meminta KPU daerah untuk melakukan penundaan terhadap putusan Bawaslu beserta jajarannya yang meloloskan mantan koruptor sebagai bakal caleg Pemilu 2019.
SE memiliki empat poin informasi. Pertama, pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota merujuk kepada aturan dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan PKPU Nomor 20 Tahun 2017 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Kedua, pencalonan anggota DPD merujuk kepada aturan dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang merupakan perubahan kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD.
Ketiga, dalam menghadapi putusan Bawaslu tentang mantan narapidana kasus korupsi menjadi bakal caleg, KPU dan jajarannya tetap berpedoman kepada PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor Nomor 26 Tahun 2018 yang merupakan perubahan kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD. Kedua PKPU tersebut masih berlaku dan belum dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Keempat, meminta KPU daerah untuk menunda putusan Bawaslu dan jajarannya yang meloloskan mantan narapidana korupsi menjadi bakal caleg. Penundaan dilakukan sampai adanya putusan uji materi dari MA atas dua PKPU di atas.
Sementara itu, Ketua Bawaslu, Abhan, menampik tudingan yang menyebut pihaknya melakukan interpretasi sendiri soal aturan larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Hingga saat ini tercatat ada 11 putusan Bawaslu yang meloloskan mantan narapidana korupsi sah sebagai bakal caleg DPRD dan calon anggota DPD untuk Pemilu 2019.
"Coba dibaca dalam PKPU Nomor 20 (tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) itu di pasal 7 (syarat pencalonan bakal caleg), tidak ada persoalan (larangan) bagi mantan narapidana korupsi," kata Abhan di Jakarta, Ahad.