REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemda DIY diminta mengantisipasi membanjirnya produk batik printing (cetak) ke wilayah setempat. Salah satunya, dengan membuka lokasi khusus bagi pemasaran produk batik cetak tersebut.
"Kita tidak bisa mengelak di Yogyakarta sudah banyak batik printing. Padahal sebenarnya itu bukan batik melainkan tekstil yang bermotif batik," Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY, GKR Hemas, pada wartawan di Kepatihan, Yogyakarta.
Oleh karenanya, ia berharap Pemda DIY membuat keputusan atau mengimbau pedagang agar batik printing ditempatkan pada tempat tersendiri. "Supaya masyarakat juga paham dan ada pembelajaran bahwa ada batik tulis dan printing," ujarnya.
Bahkan apabila diperlukan ada peraturan bagaimana batik printing tidak dilarang, melainkan ditempatkan satu counter tersendiri. Ia mengungkapkan batik yang ada di Yogyakarta ini bukan hanya buatan dari pengrajin lokal, melainkan dari seluruh daerah, seperti Cirebon, Pekalongan, Rembang, hingga Madura.
"Di sini akan terjadi pasar dan sebetulnya bagi para pengrajin batik supaya mendapat tempat yang baik," katanya.
Lebih lanjut permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X ini juga mengatakan bahwa harga jual batik tulis tidak selalu mahal. "Saya baru-baru ini ke Madura, ternyata batik tulis di Madura itu tidak mahal. Bahkan ada yang harganya Rp 40 ribu," ujarnya.
Di Madura, lanjut Hemas, masih mempunyai sistem tradisional yang dulu pernah ada diYogyakarta, tetapi sekarang sudah tidak ada. Yakni mereka pergi ke pasar mengambil kain mori dan membeli malam. Lima hari kemudian mereka ambil mori lagi dan menjual batiknya untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya.
"Hebatnya di sana satu keluarga bisa membatik sehingga dalam sehari bisa selesai beberapa kain batik. Hal seperti ini di Yogyakarta harus dihidupkan lagi," jelasnya.