Senin 03 Sep 2018 15:03 WIB

Stok Gula Melimpah, Petani Minta Impor Diaudit

Meski tak menentang impor, petani tebu meminta supaya impor gula bisa diaudit.

Gula. Ilustrasi
Foto: ABCNews
Gula. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Holding PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, diperkirakan akan mengalami overstock, atau kelebihan stok gula. Hingga 21 Agustus 2018 stok mencapai 489.916 ton. Jumlah ini menjadi yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam kondisi normal, stok gula BUMN perkebunan itu hanya sebesar 25 ribu hingga 50 ribu ton. Belum lagi hingga akhir masa giling 2018 stok gula kemungkinan akan bertambah menjadi satu juta ton. Stok gula itu belum memperhitungkan kuota impor gula yang didapatkan PTPN tahun ini.

"Kita tidak ingin overstock karena bisa tidak terjual karena pasar sudah jenuh", ujar Executive Vice President PTPN III Aris Toharisman, seperti dalam siaran persnya, Senin (3/9).

Harga yang rendah menjadi salah satu alasan tersendatnya pengeluaran gula dari gudang PTPN. Menurutnya harga gula di tingkat lelang petani saat ini di kisaran Rp 9.500 per kilogram.

Meski tak menentang impor, petani tebu meminta supaya impor gula bisa diaudit untuk mencegah dampak kerugian bagi petani. Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen menyatakan pemerintah telah membuka keran impor cukup besar untuk gula mentah pada 2018. Rinciannya, gula mentah untuk Gula Kristal Rafinasi (GKR) dialokasikan sebanyak 3,6 juta ton dan gula mentah untuk Gula Kristal Putih (GKP) sebesar 1,1 juta ton.

Menurutnya, produksi gula konsumsi nasional  tahun ini sebesar 2,1 juta ton dengan kebutuhan sebesar 2,9 juta ton. Atas dasar tersebut, dia menyatakan impor seharusnya dilakukan secara bertahap agar tak merugikan petani.

Dia mencontohkan produksi gula di Jawa Timur bisa memenuhi 50 persen total produksi nasional sebesar 1,1 juta ton. Sementara  kebutuhan gula konsumsi di sana hanya sebesar 400 ribu ton. “Mau dijual ke siapa lebihnya,” katanya.

Selain itu, APTRI menuding GKR yang merembes di pasaran membuat posisi gula petani semakin tertekan, dan menjadi kurang laku. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 117 Tahun 2015, GKR hanya boleh diperdagangkan atau didistribusikan kepada industri sebagai bahan baku produksi.

Namun, pada kenyataannya, berdasarkan hasil penelusuran APTRI, gula rafinasi ditemukan diperjualbelikan secara bebas di berbagai toko sebagai gula konsumsi. Untuk itu APTRI melaporkan ke Bareskrim Polri adanya dugaan perembesan GKR ke pasar di beberapa daerah seperti Pontianak, Banjarmasin, Tangerang, dan Cianjur.

Rembesan GKR diduga berasal dari tiga perusahaan. "Kami belum bisa memastikan apakah tiga produsen itu yang melakukan rembesan, biar selanjutnya diusut Bareskrim," ujar Sekretaris Jenderal APTRI Nur Khabsyin.

Masalah rembesan gula rafinasi menjadi permasalahan yang berulang. Gula rembesan itu merugikan para petani gula karena mengakibatkan harga gula produksi mereka jatuh, sedangkan biaya produksi terus naik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement