Selasa 04 Sep 2018 06:01 WIB

Konsultasi Syariah: Kartu Kredit Syariah

Transaksi dengan kartu kredit syariah boleh dengan tiga kriteria.

Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Foto: Dokpri
Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh: Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

 

Assalamualaikum wr wb.

Ustaz, saya beberapa kali bertransaksi menggunakan kartu kredit sebuah bank syariah. Sebenarnya, bagaimana skema dan ketentuan fikih tentang kartu kredit syariah ini?

Nusaiba - Depok

 

Waalaikumussalam wr wb.

Kartu kredit syariah diperkenankan jika tidak mengenakan bunga (tetapi mengenakan fee penjaminan, membership fee, merchant feefee penarikan uang tunai, dan mengenakan denda/ganti rugi atas setiap keterlambatan, peruntukan transaksinya halal, tidak mendorong pengeluaran berlebihan, dan nasabah mampu menunaikan utangnya.

Kesimpulan hukum ini berdasarkan telaah terhadap substansi dan praktik kartu kredit syariah dan konvensional, fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI tentang Syariah Card, dan kaidah-kaidah fikih muamalah.

Kartu kredit syariah adalah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah. Kartu kredit disebut sesuai syariah dengan tiga kriteria berikut.

Pertama, tidak mengenakan bunga, tetapi mengenakan fee penjaminan bank atas kewajiban nasabah terhadap merchant, fee membership, dan mengenakan donasi sosial/ganti rugi atas setiap keterlambatan pembayaran sesuai dengan fatwa Nomor 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card.

Fatwa tersebut memuat: Poin (a) fee kafalah (penjaminan). Penerbit kartu boleh menerima fee dari pemegang kartu atas pemberian kafalah. Transaksi yang berlaku dalam kartu kredit syariah ini, di antaranya, terdiri dari pinjaman, penjaminan, dan ijarah. Penerbit kartu adalah penjamin bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan merchant dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank penerbit kartu.

Atas pemberian kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee. Pada saat yang sama, penerbit kartu adalah pemberi pinjaman kepada pemegang kartu melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank penerbit kartu.

Poin (b) membership fee. Merchant fee dan fee penarikan uang tunai. Penerbit berhak menerima iuran keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan atas izin penggunaan fasilitas kartu. Penerbit pun boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan atas perantara, pemasaran, dan penagihan. Penerbit juga boleh menerima fee penarikan uang tunai sebagai imbalan atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.

Ketiga bentuk fee tersebut menggunakan skema ijarah karena penerbit adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Atas ijarah ini, pemegang kartu dikenakan annual membership fee. Semua bentuk fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.

Poin (c) denda keterlambatan dan biaya ganti rugi. Penerbit kartu dapat mengenakan late charge pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial. Penerbit kartu dapat mengenakan ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.

Kedua, tidak digunakan untuk transaksi yang bertentangan dengan syariah. Penerbit juga tidak memfasilitasi transaksi yang bertentangan dengan syariah.

Ketiga, tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan, dengan cara, antara lain, menetapkan pagu maksimal pembelanjaan. Dan, pemegang kartu memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.

Kesimpulan bahwa kartu kredit syariah dibolehkan dengan skema tersebut didasarkan pada bahwa riba itu diharamkan dan harus dihindarkan dari kartu. Sedangkan, kebolehan fee penjaminan bank itu sesuai dengan pendapat Musthafa al-Hamsyari bahwa penjaminan dengan imbalan didasarkan pada imbalan atas jasa kewibawaan (dignity) atau didasarkan pada ju'alah yang dibolehkan dalam mazhab Syafi'i. Wallahu a’lam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement