REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pemerintah Libya yang didukung PBB mengumumkan keadaan darurat di ibukota, Tripoli, dan daerah pinggirannya. Keadaan darurat diberlakukan setelah pertempuran sengit antara kelompok bersenjata terjadi selama beberapa hari.
Dilansir Aljazirah, Senin (3/9), setidaknya 39 orang, termasuk warga sipil, tewas dalam kekerasan dan hampir 100 orang lainnya terluka.
"Karena situasi bahaya saat ini dan demi kepentingan publik, dewan kepresidenan mendeklarasikan keadaan darurat untuk melindungi dan mengamankan warga sipil, barang milik umum dan pribadi serta lembaga-lembaga penting," ujar Pemerintah Nasional (GNA) dalam sebuah pernyataan pada Ahad (2/9)
Berdasarkan laporan wartawan Aljazirah, Mahmoud Abdelwahed dari Tripoli diketahui bahwa roket-roket yang salah sasaran menimbulkan banyak korban dari warga sipil.
"Sejak awal bentrokan yang meletus sepekan yang lalu, banyak warga sipil tewas akibat roket jatuh ke daerah-daerah padat penduduk," katanya.
Ia mengatakan banyak penduduk menyalahkan Pemerintah Kesepakatan Nasional karena tidak melakukan upaya untuk menghentikan konflik. Libya jatuh ke dalam kekacauan setelah pemberontakan 2011 yang menggulingkan dan membunuh Muammar Gaddafi.
Saat ini, Libya diperintah oleh dua otoritas yang bersaing didukung oleh berbagai kelompok bersenjata yang kuat. Mereka yakni GNA yang berbasis di Tripoli, yang diakui oleh PBB sebagai pemerintah resmi Libya dan Dewan Perwakilan yang berbasis di Tobruk di bagian timur negara itu, yang mendapat dukungan dari Jenderal Khalifah Haftar.
Pertempuran di ibu kota meletus pekan lalu ketika kelompok-kelompok bersenjata dari Tripoli bentrok dengan kelompok lain dari satu kota ke selatan. Mereka memperebutkan kekuasaan di pemerintahan yang berbasis di barat negara itu.
Pertempuran jalanan pada Senin dan Selasa terjadi antara Brigade Ketujuh atau Kaniyat, dari Tarhouna, sebuah kota 65 km tenggara Tripoli, melawan Brigade Revolusi Tripoli dan Nawasi, dua faksi terbesar ibu kota.
Kaniyat dan kelompok-kelompok lain dari luar Tripoli telah menyaksikan keberhasilan saingan di dalam kota dengan kegelisahan yang meningkat. Laporan tentang kekayaan, kekuasaan dan gaya hidup mewah dari beberapa komandan pemberontak Tripoli telah memicu kebencian.
Sebuah gencatan senjata dicapai dalam koordinasi dengan misi PBB di Libya. Gencatan senjata mulai berlaku pada Kamis pekan lalu. Namun kesepakatan itu dengan cepat dilanggar.
Dalam pernyataannya, pemerintah yang berbasis di Tripoli meminta milisi lawan untuk menghentikan pertempuran dan menghormati perjanjian gencatan senjata. Pemerintah menyampaikan kembali pernyataan yang dikeluarkan oleh , sekretaris jenderal PBB Antonio Guterres sehari sebelumnya.
"Sekretaris Jenderal mengutuk eskalasi kekerasan di dalam dan di sekitar ibukota Libya dan, khususnya, penggunaan oleh kelompok bersenjata pemboman sembarangan yang mengarah pada kematian dan cedera warga sipil, termasuk anak-anak," kata pernyataan PBB pada Sabtu.
Guterres meminta semua pihak untuk segera menghentikan permusuhan dan mematuhi perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB dan Komite Rekonsiliasi.
Inggris, Prancis, Italia, dan Amerika Serikat mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa eskalasi akan menghambat proses politik di Libya yang berencana untuk mengadakan pemilihan nasional pada Desember mendatamg.
Keempat negara itu mengatakan mereka memperingatkan pihak yang merusak keamanan di Tripoli atau tempat lain di Libya akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan semacam itu. Baca: 400 Tahanan Kabur dari Penjara Tripoli