REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menyatakan, tidak akan mempercepat proses uji materi atas peraturan yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg). Proses uji materi terhadap PKPU Nomor 20 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu baru akan dilakukan jika seluruh proses uji materi terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 selesai dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Juru Bicara MA, Suhadi, ada sekitar 12 pengajuan uji materi terhadap PKPU Nomor 20 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018. Semua pengajuan itu mempersoalkan larangan bagi mantan koruptor menjadi caleg.
"Tetapi, proses uji materi terhadap semua perkara itu masih menunggu uji materi atas UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 selesai seluruhnya. Kami tidak bisa melawan ketentuan UU, kami harus taat," jelas Suhadi saat dihubungi Republika, Senin (3/9) malam.
Adapun, UU yang dimaksud Suhadi adalan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Dalam pasal 53 UU tersebut, dijelaskan jika MK harus memberitahukan permohonan uji materi yang masuk ke MK kepada MA. Pemberitahuan ini dilakukan dalam waktu tujuh hari setelah perkara uji materi didaftarkan ke MK.
Kemudian, dalam pasal 55, mengatur bahwa uji materi terhadap aturan perundangan yang ada di MA wajib dihentikan sementara manakala ada proses uji materi terhadap undang-undang yang ada di atasnya. "Jadi kalau masih ada proses uji materi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 MK, ya kami tidak bisa proses uji materi di MA," tegas Suhadi.
Berdasarkan data yang dihimpun MA, sejumlah nama yang menjadi pemohon uji materi terhadap dua PKPU itu adalah Muhammad Taufik, Djekmon Ambisi, Wa Ode Nurhayati, Jumanto, Masyhur Masie Abunawas, Abdulgani AUP, Usman Effendi dan Ririn Rosiana. Pengajuan ini sudah disampaikan sejak pertengahan hingga akhir Juli lalu.
Sebelumnya, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengatakan putusan MA terkait uji materi tentang aturan larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg merupakan jalan tengah atas perbedaan pendapat antara KPU dan Bawaslu. Jika sudah ada putusan MA, Bawaslu segera melakukan koreksi terhadap hasil putusan jajarannya di daerah.
"Ada (jalan tengah atas perbedaan sikap KPU dan Bawaslu), yakni menunggu putusan (uji materi PKPU) oleh MA. Kalau ada putusan MA nanti langsung koreksi. Kalau penerapan kami salah, maka langsung kami koreksi," ujar Bagja ketika dijumpai wartawan di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Senin.
Namun, Bawaslu masih berharap KPU mau menjalankan putusan jajaran Bawaslu daerah soal mantan narapidana korupsi yang mendaftar sebagai bakal caleg. Putusan Bawaslu di daerah semuanya menyatakan para mantan narapidana korupsi memenuhi syarat sebagai bacaleg DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan calon anggota DPD.
Hanya saja, jika putusan MA nantinya menyatakan berbeda dengan putusan Bawaslu ini, Bagja menyatakan akan tetap menghormatinya. "Kami sudah meminta untuk dilaksanakan (oleh KPU). Nanti kalau ada review terhadap putusan kami, kami akan koreksi. Kalau MA menyatakan kami salah, pasti kami koreksi," tegas Bagja.
Larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg DPR dan DPRD diatur dalam Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal itu berbunyi 'dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (partai politik) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.
Larangan yang sama juga berlaku bagi calon anggota DPD. Pada pasal 60 huruf (j) PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPD yang menyatakan, 'perseorangan peserta pemilu dapat menjadi bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.
Larangan Nyaleg Mantan Koruptor