REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film bertema laga yang mengangkat para pendekar dari pelosok Nusantara sempat berjaya di panggung perfilman Tanah Air pada era 1970-an hingga 80-an akhir, sebelum film Nasional mati suri. Pada masa itu, muncul sederet jagoan lokal seperti Si Buta Dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Jaka Sembung, Pendekar Bambu Kuning, Si Pitung, ataupun Si Pahit Lidah.
Jagoan-jagoan lokal tersebut mampu menarik penonton film untuk berduyun-duyun ke bioskop. Tak kalah dengan superhero dari Amerika, seperti Superman, Batman, Spiderman, ataupun pendekar-pendekar Shaolin dari Cina.
Namun seiring tenggelamnya film Nasional, karena kalah bersaing dengan film-film dari Hollywood maupun Hong Kong, maka pendekar-pendekar Nusantara tersebut turut menghilang dari layar bioskop Tanah Air, sejak sekitar akhir 1980-an hingga kini. Kini setelah hampir 40 tahun berlalu, kembali muncul jagoan lokal di layar perak Nasional dengan diproduksinya film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Film Wiro Sableng diangkat dari novel silat Wiro Sableng karya Bastion Tito yang menemui penggemar cerita-cerita silat di Tanah Air sejak 1979 atau selama 39 tahun dengan judul sebanyak 185 buku.
Film yang disutradari Angga Dwimas Sasongko ini mengisahkan Nusantara abad 16, ketika Wiro Sableng yang diperankan Vino G Bastian (putra Bastian Tito penulis novel serial Wiro Sableng) seorang pemuda dan murid pendekar wanita bernana Sinto Gendeng (Ruth Marini) yang mendapat tugas dari gurunya untuk meringkus Mahesa Birawa (Yayan Ruhian).
Mahesa Birawa sebenarnya juga merupakan murid Sinto Gendeng, namun dia mengkhianati gurunya dan memilih menjadi pemimpin gerombolan hitam.
Dalam usahanya mencari Mahesa Birawa ini, akhirnya membawa Wiro Sableng bertemu dua pendekar yang kemudian menjadi sahabatnya, yakni Anggini (Sherina Munaf) murid Dewa Tuak (Andy/rif) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi).
Mereka bertiga akhirnya sepakat untuk bersama-sama melawan golongan hitam yang dipimpin Mahesa Birawa, yang ternyata juga terlibat dalam pemberontakan merebut tahta Raja Kamandaka (Dwi Sasono).
Film yang sejak awal produksinya sudah diklaim akan menghadirkan tontonan yang fantastis ini tak tanggung-tanggung. Lifelike Pictures selaku produser Wiro Sableng, menggandeng 20th Century Fox perusahaan film Hollywood yang selalu sukses menghasilkan film-film box office dunia.
Tak heran jika kemudian sentuhan-sentuhan Hollywood pun terlihat dalam film pendekar bersenjatakan kapak ini, seperti penggunaan teknologi Computer Generated Imagery (CGI) guna menampilkan efek visual dan menghasilkan gambar-gambar atau adegan fantastis di film ini.
Di industri film Hollywood penggunakan teknologi CGI sudah menjadi hal yang biasa, terutama dalam produksi film-film yang spektakular, seperti Jurasic Park, Superman, Batman, Spiderman, Avangers, Avatar ataupun film-film tentang bencana alam.
Maka sepanjang film yang berdurasi 123 menit itu penonton akan disuguhi dengan gambar-gambar yang indah serta adegan perkelahian yang fantastis, salah satunya saat Wiro Sableng, Anggini dan Bujang Gila berlaga di atas sebatang pohon kering di bibir jurang yang sangat dalam.
Salah satu yang menjadi ciri khas sosok Wiro Sableng, yakni sifat "sableng", suka bertingkah seperti orang gila, bertutur seenaknya sehingga mengundang tawa bahkan jurus-jurus silat yang dipakai saat berlaga pun penuh kelucuan, salah satunya menirukan tingkah monyet.
Agar penonton yang tak sempat membaca novelnya dapat mengetahui sosok Wiro Sableng, di film ini sutradara mengisahkan awal mula pertemuan Wiro dengan gurunya Sinto Gendeng, yakni saat terjadinya kerusuhan di sebuah desa tempat tinggal Wiro dengan orang tuanya.
Dalam kerusuhan tersebut kedua orang tua Wiro, menemui ajalnya karena dibantai perusuh yang dipimpin Mahesa Birawa dan Wiro kecil diselamatkan pendekar wanita tua, Sinto Gendeng kemudian diangkat sebagai murid perguruannya.
Kolaborasi Yayan Ruhiyan yang menggarap koreografi pencak silat di film ini dengan fantasi khas Nusantara hasil rancangan Adrianto Sinaga dan Chris Lie mampu menyuguhkan warna dan nuansa lokal yang kental.
Apalagi sebanyak 300 kostum dan 150 senjata-senjata berbasis Nusantara untuk setiap kharakter hasil rancangan Anto semakin menguatkan rasa pendekar-pendekar lokal tersebut.
Di tengah serbuan jagoan-jagoan dari Amerika Serikat di layar lebar seperti Superman, Batman, Iron Man, Captain America, Thor, Wonder Woman ternyata sang pendekar Nusantara Wiro Sableng bisa menunjukkan keampuhan jurus mautnya dalam meraih penonton.
Sejak tayang perdana 30 Agustus 2018 hanya dalam waktu sehari Wiro Sableng mampu meraup 187 ribu pentonton dan hingga 2 September atau 4 hari penayangan telah ditonton 652 ribu pasang mata lebih, sebuah pencapaian yang bagus untuk film Indonesia.
Keberhasilan Wiro Sableng dalam meraih jumlah penonton yang tinggi diharapkan mampu menginspirasi para pelaku industri film Tanah Air untuk mengembalikan kejayaan film-film laga asli Nusantara.
Jika Pengabdi Setan karya Joko Anwar tahun 2018 yang merupakan produksi ulang Pengabdi Setan tahun 1980 mampu "membangkitkan" hantu-hantu bergentayangan memenuhi layar bioskup saat ini, akankah Wiro Sableng cukup digdaya membuat Si Buta, Panji Tengkorak, Gundala, Jaka Sembung, Si Pitung serta pendekar Nusantara lainnya "bertarung" kembali di gelanggang film Nasional?