REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum, politik dan pemerintahan dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan tagar #2019GantiPresiden merupakan pernyataan politik dari masyarakat. Untuk itu, menurutnya gerakan tagar tersebut harus disikapi secara politik bukan dengan hukum.
"Pakai dong cara mengcounternya dengan tagar Jokowi 2 Periode, atau lanjutkan, atau tetap Jokowi. Karena itu kan peristiwa politik, jadi jangan dianggap sebagai peristiwa hukum," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (4/9).
Gerakan tersebut, lanjut Asep, dapat masuk ke ranah hukum bila ada efek, akibat, atau ekses terhadap kebencian, provokasi, maupun hasut. "Jadi deklarasi 2019 Ganti Presiden, orang berpidato, itu kan kebebasan berekspresi, kebebasan menyatakan pendapat," ujarnya.
Menurut Asep, keliru kalau pernyataan politik disikapi dengan hukum atau sebaliknya, hukum disikapi dengan politik. Sebab, kata dia, masing-masing sudah jalut dan prosedurnya. "Apalagi KPU dan Bawaslu ini sudah menyatakan itu bukan kampanye, itu kan artinya benar," ucapnya.
Asep mengatakan, aneh jika gerakan #2019GantiPresiden dianggap sebagai tindakan yang menghasut, memprovokasi atau bahkan makar. Menurutnya, itu bentuk kedangkalan berpikir terhadap negara hukum dan demokrasi.
"Negara hukum itu ada prosedurnya, ada substansi yang harus dijelaskan. Makar itu seperti apa dalam KUHP. Ujaran kebencian itu seperti apa. Masak tagar ganti presiden itu sebagai sebuah ujaran kebencian. Itu berlebihan. Demikian juga dengan pernyataan Jokowi2Periode, itu juga pernyataan politik," jelasnya.
Asep menilai, gerakan baik #2019GantiPresiden ataupun #Jokowi2Periode sah-sah saja dalam demokrasi selama tidak menyangkut penghinaan, ujaran kebencian, hasut dan provokasi. "Saya heran juga kalau masih ditarik ke ujaran kebencian, sebelah mananya?," ujarnya.