REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak pada rentang Rp 14.300-Rp 14.700 per dolar AS pada 2019. Nilai tukar rupiah itu dengan keyakinan bahwa tekanan ekonomi global pada tahun politik itu tidak akan seberat pada 2018.
"Nilai tukar pada 2019 sebesar Rp 14.300-Rp 14.700 per dolar AS, memiliki rentang yang lebih lebar seperti yang disampaikan," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (4/9).
Rentang itu sempat dinilai terlalu optimistis oleh anggota Badan Anggaran DPR RI. Hal itu karena ketidakpastian ekonomi global pada 2018 saja sudah membuat rupiah loyo hingga menyentuh Rp 14.900 per dolar AS. Secara tahun berjalan, rupiah sudah melemah 7,8 persen, menurut data Bank Sentral.
Namun, menurut Perry, ada dua penyebab kurs rupiah akan lebih baik pada tahun 2019. Pertama, tekanan ekonomi eksternal pada 2019 tidak akan sekencang pada 2018. Paramater utamanya adalah ekspatasi bahwa Bank Sentral AS, The Federal Reserve hanya akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua hingga tiga kali pada 2019, dibanding 2018 yang sebanyak empat kali.
Alhasil, kata Perry, ketikpastian pasar keuangan global 2019 tidak akan sebesar pada 2018. "Memang masih naik, tapi kenaikannya lebih kecil, sehingga tekanan dari global, kenaikan suku bunga juga tidak setinggi yang terjadi tahun ini," ujar dia.
Kedua, perbaikan defisit transaksi berjalan yang menjadi bagian neraca pembayaran. Defisit transaksi berjalan yang terdiri dari perdagangan barang dan jasa menggambarkan arus masuk dan keluar devisa.
Sederhananya jika transaksi berjalan defisit maka devisa yang keluar lebih banyak. Jika surplus maka devisa yang masuk ke dalam negeri lebih banyak. Sayangnya, transaksi berjalan hingga kuartal II 2018 masih defisit di tiga persen terhadap PDB.
Pada 2019, Perry menyebutkan, neraca transaksi berjalan memang masih akan defisit, namun besaran defisitnya akan menurun. Salah satu penyebabnya, diklaim Perry, adalah penerapan kebijakan bahan bakar biodiesel yaitu campuran 80 persen minyak solar dan 20 persen minyak sawit (B20) untuk semua sektor mulai 1 September 2018.
Pada 2018, menurut Perry, selama empat bulan kebijakan B20 diterapkan maka akan menurunkan impor 2,2 miliar dolar AS. Tahun 2019, proyeksi penurunan impor akan mencapai minimal enam miliar dolar AS.
Jika impor menurun, maka jumlah devisa yang terbuang keluar negeri juga akan menurun. Maka amunisi devisa untuk menopang nilai tukar rupiah juga akan semakin kuat. Kemudian dengan B20, terdapat tambahan devisa dari penghasilan ekspor minyak sawit mentah (CPO) karena kenaikan harga komoditas tersebut.
Secara perhitungan kasar, BI melihat kebijakan B20 akan mengurangi defisit transaksi berjalan dengan tambahan devisa 9 miliar dolar AS-10 miliar dolar AS pada 2019.
"Tambahan devisa itu kan besar. Belum lagi dari (sektor) pariwisata," kata Perry.
Pada 2018, Bank Sentral akan tetap melakukan intervensi ganda di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN) untuk menahan pelemahan rupiah serta juga mempermurah biaya barter (swap) valas dan lindung nilai, selain opsi dengan mempertimbangkan kenaikkan instrumen suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate". Intervensi ganda dilakukan BI dengan menstabiliasi pasar valas agar likuiditas terjaga, dan membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang dilepas investor asing di pasar sekunder.
"Hari Jumat (31/8) di pasar SBN kami beli Rp 4,1 triliun yang dijual oleh asing," ujarnya.