REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi menyesalkan intimidasi dan persekusi yang menimpa Ustadz Abdul Somad. Upaya penolakan terhadap ceramah keagamaan, seharusnya tidak terjadi di negeri demokrasi. Pasalnya, telah mencederai kebebasan berpendapat yang telah di atur dalam undang-undang (UU).
"Saya kira ini sangat ironi," ujar Dedi kepada Republika.co.id, Selasa (4/9).
Apalagi, Indonesia merupaka negara demokrasi. Negeri yang kaya akan suku, kultur, agama dan kepercayaan. Sehingga, perbedaan ini harus disikapi arif dan bijak. Serta tidak boleh dengan cara persekusi.
Tak hanya itu, lanjut Dedi, pluralitas harus menjadi pijakan dalam bertindak di tengah masyarakat. Konteks keberagaman dan keberagamaan di Indonesia mengharuskan asas tersebut diberlakukan.
Ceramah keagamaan, sambungnya merupakan bagian dari kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Kebebasan tersebut, menjadi bagian tidak terpisahkan dari hak asasi anak bangsa dan dilindungi piranti undang-undang.
Jika sekiranya terjadi perbedan pendapat tentang pemahaman keagamaan, tinggal dibawa saja ke forum diskusi. Forum yang berbasis keilmuan. Serta, memiliki kapasitas objektif mengupas permasalahan itu secara tuntas.
"Ini dalam rangka menghindari upaya main hakim sendiri. Termasuk, dengan aksi persekusi," kata Dedi.
Dedi menyontohkan, instrumen diskusi dua organisasi besar keagamaan di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dengan forum Bahtsul Masaail (pembahasan masalah). Sementara Muhammadiyah lekat dengan tradisi Majelis Tarjih dalam mengupas persoalan.
Kedua organisasi ini, perlu dicontoh. Sebab, jika ada masalah maka warga NU maupun Muhammadiyah, akan membahasnya dalam forum yang telah merek bentuk. Sehingga, persoalannya bisa fokus dan tidak melebar kemana-mana.
Sementara itu, masalah yang mendera UAS lebih didasari pada persoalan suka dan tidak suka, secara personalitas. Akibatnya, pihak yang tidak suka, dengan mudahnya melakukan persekusi.
"Sekarang ini, dikit-dikit tolak. Tidak suka sama dai, tolak secara ramai-ramai," kata Dedi.
Untuk itu, mantan Bupati Purwakarta ini mengajak semua pihak agar bertindak sesuai dengan koridor aturan perundangan. Menurutnya, hanya instrumen negara yang berhak melakukan pengekangan terhadap hak seseorang. Hukum, harus menjadi panglima dalam kehidupan bernegara.
Kalau seseorang dilarang berceramah atau berpidato, maka larangan itu harus sesuai dengan undang-undang. Tidak boleh ada larangan berdasarkan ketidaksukaan terhadap seseorang.