Rabu 05 Sep 2018 00:17 WIB

Pelemahan Rupiah Diprediksi akan Berlanjut

Rupiah menghadapi berbagai tekanan.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Dwi Murdaningsih
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (4/9). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.940 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Foto: Rivan Awal Lingga/Antara
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (4/9). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.940 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah terus terdepresiasi. Sore ini, Selasa, (4/9), bahkan ditutup di atas Rp 14.900 per dolar AS.

Menanggapi hal itu, Ekonom sekaligus Corporate Secretary Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto menilai, pelemahan rupiah akan berlanjut dalam jangka pendek ke depannya.

"Hal itu karena persepsi investor dan pasar menyamaratakan kondisi Indonesia dan emerging economies lainnya seolah-olah seperti kondisi Turki, Argentina dan Venezuela yang sama-sama anggota emerging economies," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa, (4/9).

Hal lain, kata dia, pasar juga melihat posisi Current Account Deficit (CAD) Indonesia makin membesar. Sekaligus mendekati ambang batas internasional, yakni 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

"Semua itu memberi tekanan terhadap rupiah hingga kini," ucap dia.

Sri Mulyani: Rupiah Dihantam Badai

Ia menambahkan, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan tugasnya dengan baik melalui intervensi pasar, menaikkan suku bunga acuan secara agresif hingga 5,5 persen, serta merilis bauran kebijakan.

Hanya saja menututnya, itu semua belum mampu mengembalikan kepercayaan pasar. "Jadi hanya bisa menahan depresiasi rupiah lebih dalam saja, karena persoalan dasarnya yakni CAD atau DTB yang melebar belum diselesaikan," kata Ryan.

Ia menuturkan, masalah tersebut baru akan diselesaikan oleh pemerintah. Di antaranya mengurangi komponen impor, mengurangi proyek infrastruktur, menaikkan komponen dalam negeri (TKDN), dan mewajibkan penggunaan B20 untuk kendaraan bermotor mulai awal September 2018.

"Lalu bahwa bank-bank menjual dolar AS berkisar Rp 14.950 per dolar AS. Itu karena mekanisme pasar yang berlaku di saat dolar AS mengalami apresiasi luar biasa terhadap hampir semua mata uang dunia," kata dia.

Maka, kata dia, tentu bank-bank melayani pembelian dolar AS sesuai ketentuan berlaku, yakni pembelian dolar AS wajib ada underlying transaction-nya. Jika tidak ada, maka tidak akan dilayani oleh bank.

"Inilah bentuk kehati-hatian bank dalam melakukan jual beli mata uang di saat posisi rupiah sedang tertekan. Bank tidak hanya cari untung, tapi juga berusaha membantu pemerintah dan BI untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter," kata Ryan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement