REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelengaraan Pemilu (DKPP) Harjono mengatakan, nasib mantan napi korupsi menjadi calon legislatif (caleg) kini tergantung Mahkamah Agung (MA). PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif kini tengah digugat di MA.
"Dampaknya kalau itu diperbolehkan ya orang-orang yang sudah daftar ke KPU, yang dilarang oleh KPU, itu harus diberi haknya. Karena itu sekarang tergantung pada MA, mau mutus apa persoalan tentang mereka yang tersangkut perkara korupsi ini," tutur Harjono di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (4/9).
Sembari menunggu putusan MA terkait gugatan atas Peraturan KPU (PKPU), antara DKPP, KPU, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan dilaksanakan pertemuan tripartit. Ketiganya akan membahas lebih lanjut apa yang sudah dibicarakan di Kemenko Polhukam.
"Tapi hasilnya bagaimana, tidak tahu. Karena berdua ini pada posisi yang dua-duanya punya alasan hukum," terangnya.
Lebih lanjut, Harjono enggan menyebut DKPP mendukung salah satu pihak antara Bawaslu dan KPU. Menurutnya, DKPP hanya bicara pada putusan yang mereka keluarkan.
"Saya tidak bisa mengatakan DKPP mendukung karena DKPP itu keluar karena keputusan seluruh anggota. Saya tidak bisa mengatakan mendukung, nanti anggota lain tidak setuju. DKPP hanya bicara pada putusannya," katanya.
Sebelumnya, MA diminta untuk memprioritaskan percepatan keputusan perkara PKPU 20/2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Hal tersebut bertujuan agar polemik larangan nyaleg untuk para mantan koruptor bisa diselesaikan.
"Sudah ada kesepakatan dari perbincangan yang cukup panjang tadi, pada akhirnya semua pihak akan meminta kepada MA untuk melakukan percepatan keputusan, apakah keputusan KPU pada PKPU itu ditolak atau dibenarkan," kata Menko Polhukam Wiranto usai melakukan rapat koordinasi KPU, Bawaslu, dan DKPP di kantor Kemenko Polhukam, Selasa (4/9).
Menurut Wiranto, kunci dari permasalahan yang kini tengah berkembang di masyarakat adalah putusan MA. Ia mengatakan, saat ini sudah banyak spekulasi yang muncul di masyarakat yang berimplikasi pada stabilitas politik nasional.
Menanggapi desakan dari berbagai pihak itu, MA menyatakan untuk memutuskan gugatan PKPU, MA menunggu putusan uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu dilandasi oleh UU MK No.24/2003.
"Sebelumnya kami tanyakan Pak Hatta Ali (Ketua MA), gugatan PKPU ini secara prinsip MA menunggu putusan JD di MK. Supaya putusan MK dan MA tidak tolak belakang," ungkap Juru Bicara MA Suhadi saat dihubungi, Selasa (4/9).
Landasan hukum untuk itu, kata Suhadi, adalah Pasal 53 UU MK No. 24/2003. Pada pasal tersebut dikatakan, MK memberitahukan kepada MA, ada uji materi suatu UU terhadap UUD dalam tempo paling lama tujuh hari kerja terhitung mulai UU itu didaftarkan.
Ia melanjutkan, Pasal 55 pada UU yang sama menyebutkan, jika perkara uji materi di MA yang UU-nya sedang diuji materi di MK, maka proses uji materi di MA wajib untuk dihentikan sementara sampai ada putusan dari uji materi di MK.
"Nah, itulah dasarnya MA belum memeriksa perkara itu. Kalau belum semua putusan judicial review di MK yang menyangkut UU itu. Sampai sekarang belum semuanya diputus oleh MK. Di situlah yang ditunggu oleh MA," katanya.