REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menilai hanya Mahkamah Agung (MA) yang dapat menyelesaikan konflik antara KPU dan Bawaslu terkait mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). Karenanya, ia mendesak agar MA segera membuat putusan terhadap gugatan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018.
"Ketemu bahwa yang bisa mengatasi itu yang menyelesaikan dari pendekatan hukum adalah MA, kita mendesak MA agar segera membuat putusan," ujar Wiranto di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/9).
Menurut Wiranto, hanya MA yang berhak menilai dan menganalisis PKPU apakah sudah sesuai dengan Undang undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sebab, kedua lembaga penyelengara Pemilu yakni KPU dan Bawaslu memiliki pandangan berbeda terhadap aturan dalam PKPU yakni terkait larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg.
Meskipun, Wiranto mengakui MA juga terbentur putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan UU Pemilu. MA tak ingin memutus aturan turunan, dalam hal ini PKPU, berbeda dari aturan di atasnya. Karenanya ,MA menunda proses sidang uji materi PKPU Nomor 20 /2018 ini sampai ada putusan MK terhadap UU Pemilu.
"Walaupun MA juga mengatakan bahwa tidak bisa keputusan harus menunggu keputusan di MK, tetapi kalau kemarin kita bicarakan juga bahwa karena materi gugatannya beda, beda ya, pasal-pasalnya beda, maka sebenernya MA bisa melanjutkan," ujar Wiranto.
Namun demikian, Wiranto mengaku telah menghubungi pimpinan MA agar mempercepat proses gugatan PKPU tersebut. "Saya kan berhubungan Saya sudah telepon ya pimpinan di MA, tolong dipercepat supaya semuanya bisa berjalan dengan baik," katanya.
Menanggapi desakan dari berbagai pihak, MA menyatakan untuk memutuskan gugatan PKPU, MA menunggu putusan uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu dilandasi oleh UU MK No.24/2003.ya.
"Sebelumnya kami tanyakan Pak Hatta Ali (Ketua MA), gugatan PKPU ini secara prinsip MA menunggu putusan JD di MK. Supaya putusan MK dan MA tidak tolak belakang," ungkap Juru Bicara MA Suhadi saat dihubungi, Selasa (4/9).
Landasan hukum untuk itu, kata Suhadi, adalah Pasal 53 UU MK No. 24/2003. Pada pasal tersebut dikatakan, MK memberitahukan kepada MA, ada uji materi suatu UU terhadap UUD dalam tempo paling lama tujuh hari kerja terhitung mulai UU itu didaftarkan.
Ia melanjutkan, Pasal 55 pada UU yang sama menyebutkan, jika perkara uji materi di MA yang UU-nya sedang diuji materi di MK, maka proses uji materi di MA wajib untuk dihentikan sementara sampai ada putusan dari uji materi di MK.
"Nah, itulah dasarnya MA belum memeriksa perkara itu. Kalau belum semua putusan judicial review di MK yang menyangkut UU itu. Sampai sekarang belum semuanya diputus oleh MK. Di situlah yang ditunggu oleh MA," katanya.