REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu (5/9) hampir menyentuh Rp 15 ribu per dolar AS. Rupiah berada di level Rp 14.927 per dolar AS, terus melemah mendekati Rp 15 ribu selama dua pekan terakhir.
Anjloknya rupiah sepanjang tahun ini telah berdampak pada saham dan obligasi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 10 persen sepanjang tahun ini setelah penurunan 3,3 persen pada Rabu (5/9).
Sementara, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun naik 11 basis poin menjadi 8,52 persen. Kenaikan ini menjadi yang tertinggi sejak Januari 2016.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, pelemahan rupiah pada jangka pendek ini akan berpotensi memicu inflasi impor. Melemahnya rupiah akan memengaruhi industri-industri yang menggunakan bahan baku impor.
"Karena, biaya impor menjadi lebih mahal. Selain itu, juga membuat beban yang lebih besar dalam berbagai kegiatan transaksi internasional, seperti membayar utang atau bunga utang luar negeri, dividen investor asing, dan lainnya," Ahmad Heri menjelaskan kepada Republika.co.id, Rabu (5/9).
Faktor eksternal dari meningkatnya suku bunga acuan Bank Sentral AS Fed Fund Rate (FFR) menjadi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Kenaikan FFR ini membuat pasar negara berkembang, seperti Indonesia, tidak menarik lagi sehingga terjadi arus modal keluar (outflow).
Apalagi, ketergantungan dana asing di Indonesia cukup tinggi sehingga apabila terjadi outflow, maka akan sangat terasa. "Permintaan terhadap dana asing yang semakin besar membuat nilainya semakin tinggi, sementara suplai dolar di dalam negeri (dari arus masuk devisa, seperti dari ekspor dan investasi) tidak meningkat sebesar peningkatan permintaan dolar," papar Heri.
Menurut Heri, pelemahan rupiah akan terus terjadi hingga kebijakan penaikan suku bunga AS berakhir. Sementara untuk dalam negeri, rupiah dapat menguat apabila Indonesia bisa menahan laju arus keluar devisa, seperti menahan laju impor, serta hingga Indonesia bisa meningkatkan ekspor yang lebih tinggi untuk mendatangkan devisa.
Saat ini, neraca perdagangan defisit karena ekspor kurang, sedangkan impor lebih banyak. Pemerintah harus dapat meningkatkan ekspor dan mengurangi impor sehingga nett-nya akan surplus dan menambah devisa.
"Jadi, kalau neraca dagang surplus, dolar AS yang masuk bertambah. Saat ini, sangat penting untuk dolar masuk supaya menambah pasokan valas di dalam negeri," kata Heri.