REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang mengakui pertama kali seorang pekerja di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima, yang hancur akibat gempa dan tsunami lebih dari tujuh tahun lalu, meninggal akibat paparan radiasi.
Gempa berkekuatan 9,0 pada skala Richter melanda pada Maret 2011 dan memicu tsunami. Gempa menewaskan sekitar 18 ribu orang dan menjadi bencana terburuk nuklir di dunia sejak Chernobyl 25 tahun sebelumnya.
Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan pada Jumat memutuskan ganti rugi harus diberikan kepada keluarga pria berusia 50-an itu. Pekerja itu meninggal akibat kanker paru-paru.
Pekerja itu telah menghabiskan kariernya bekerja di pembangkit nuklir di seputar Jepang. Ia bekerja di pembangkit Fukushima Daiichi yang dikelola Tokyo Electric Power sedikitnya dua kali sesudah pembangkit tersebut meleleh pada 2011.
Pekerja membangun dinding pendingin PLTN Fukushima Daiichi yang rusak akibat terjangan tsunami di Okuma, Prefektur Fukushima, Tokyo, Jepang, Juli 2014.
Ia didiagnosis mengidap kanker pada Februari 2016. Kementerian itu sebelumnya menyatakan paparan radiasi mengakibatkan penyakit pada empat pekerja di Fukushima.
"Itu adalah kematian pertama," katanya.
Lebih dari 160 ribu orang dipaksa meninggalkan rumah sesudah terjadi kehancuran di pembangkit itu. Ratusan kematian dikaitkan dengan kekacauan pengungsian selama kemelut itu dan karena kesulitan dan trauma mental, yang dialami pengungsi sejak saat itu, tapi pemerintah menyatakan radiasi bukan penyebabnya. Tokyo Electric menghadapi serangkaian perkara hukum, yang memperjuangkan ganti rugi atas bencana tersebut.