REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (Kornas JPPR) Sunanto menyebut, pemilih pemula dan pemilih dari kalangan milenial sangat menentukan kemenangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di pilpres 2019. Kubu pengusung capres-cawapres diimbau untuk memberikan pendidikan politik yang baik bagi kelompok pemilih milenial.
"Pemilu 2019 akan diikuti oleh sekitar 40 persen pemilih usia 17 hingga 35 tahun, yang sering disebut pemilih milenial. Dan mereka akan sangat menentukan kemenangan di pemilu 2019," kata Sunanto kepada wartawan, Rabu (5/9).
Pria yang akrab disapa Cak Nanto ini, mengatakan pemilih milenial akan menjadi bagian penting dalam pergulatan isu perpolitikan di 2019. Karena itulah kelompok pemilih milenial ini, ia anggap sangat menentukannya bukan hanya dari jumlahnya, tapi juga kompetensi literasi di bidang teknologi informasi. "Pemilih milenial akan menjadi bagian penting isu perpolitikan di tanah air. Mereka sangat aware dan beragam perkembangan informasi di media sosial," katanya.
Dan wajah kepemimpinan Indonesia di 2019, baik Presiden dan wakil presiden, juga anggota DPR, DPD, Dan DPRD akan ditentukan oleh 40 persen pemilih Millenial ini. Sedangkan 40 persen pemilih pemula akan menggunakan media sosial sebagai rujukan informasi termasuk soal substansi kampanye politik yang dilakukan oleh para kandidat. Atas dasar itu, JPPR berharap kualitas dan kompetensi literasi pemilih pemula semakin berkualitas.
"Sebagai kornas JPPR, saya mengimbau kepada seluruh peserta pemilu 2019 untuk memberi pendidikan politik yang terbaik bagi kelompok pemilih milenial," imbuh Cak Nanto.
Cak Nanto merujuk pada Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017. Berdasarkan hasil survei APJII, pengguna internet terbesar dikisaran usia 19 sampai 34 tahun, atau sebesar 49,52 persen. Presentasi pengguna terbanyak adalah usia di rentang 13 sampai 18 tahun yang mencapai 75,5 persen.
Berpijak dari data di atas, kata dia, sudah barang tentu parpol berebut pengaruh untuk mendulang suara-suara mereka. Dengan mengemas kandidat secara popular, menurutnya, pemilih milenial yang mendapatkan mayoritas informasi dari ponsel pintar, akan sangat mudah menyebarkan foto dan video melalui tautan media sosial.
"Mereka akan menjadi penentu seberapa jauh jangkauan informasi masing-masing kandidat dapat diterima secara pasti jatidirinya. Bagaimana rekam jejak calon, apakah pernah terlibat masalah atau tidak bermula dari informasi di ponsel pintar tersebut," tegas Cak Nanto.
Sebelumnya Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan pemilih muda atau dikenal pemilih milenial menjadi penentu siapa pemimpin kedepannya dan kemana arah bangsa akan dibangun. Pramono menyebut pemilih milenial ini menurut data KPU, jumlahnya mencapai 70-80 juta dari sekitar 193 juta pemilih. Artinya mencapai 35-40 persen yang memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu.
Jika mereka tak memberikan hak suaranya maka tentunya sedikitnya akan mempengaruhi legitimasi, karena dukungan publik yang rendah. Untuk itu, kata dia, perlu terus melakukan pencerahan dan pemahaman tentang politik dengan melakukan berbagai macam sosialisasi kepada pemilih muda. "Kami terus berupaya menggandeng komunitas, perguruan tinggi untuk sosialisasi kepada generasi milineal untuk berpartisipasi dalam pemilu," ungkap Pramono.