Kamis 06 Sep 2018 13:26 WIB

Ulama Terkemuka Saudi Dituntut Hukuman Mati

Salman al-Awdah ditangkap tak lama setelah blokade Qatar.

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Hukuman Mati/ilustrasi
Foto: Republika/Mardiah
Hukuman Mati/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Jaksa penuntut umum di Arab Saudi menuntut hukuman mati bagi ulama terkemuka Salman al-Awdah. Dilansir di Aljazirah, Kamis (6/9), Awdah, yang disebut oleh para ahli PBB sebagai seorang reformis, dipenjara setahun yang lalu.

Ia ditahan tak lama setelah Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) melancarkan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat dan menerapkan blokade darat, laut, dan udara di negara tetangga Teluk, Qatar. Awdah, yang memiliki 14 juta pengikut di Twitter, memposting sebuah tweet pada 9 September tahun lalu.

"Semoga Tuhan menyelaraskan antara hati mereka demi kebaikan rakyat mereka," tulisnya.

Ini merupakan seruan nyata untuk rekonsiliasi antara negara-negara Teluk. Harian lokal Okaz melaporkan penuntut publik, yang mewakili pemerintah Saudi, telah menyampaikan 37 tuduhan terhadap Awdah dan menyerukan hukuman mati.

Menurut kelompok HAM ALQST yang bermarkas di London dan aktivis lainnya, beberapa tuduhan termasuk hasutan terhadap penguasa dan menyebarkan perselisihan. Putra Awdah, Abdullah, menulis di Twitter tuduhan terhadap ayahnya, termasuk kritik yang disampaikan di Twitter dan pembentukan organisasi untuk membela kehormatan Nabi Muhammad.

"Hari ini, pada sidang pengadilan untuk ayah saya Sheikh Salman al-Awdah, jaksa meminta hukuman mati terhadapnya, dan mengajukan 37 dakwaan, salah satunya adalah mendirikan organisasi al-Nusra di Kuwait untuk membela Nabi (SAW), dan menjadi anggota Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian dan Persatuan Internasional ulama Muslim, dengan tuduhan lain terkait tweet-nya," kata anak al-Awdah.

Juru kampanye Amnesty International Arab Saudi, Dana Ahmed, menyebut tuntutan itu mengirimkan pesan yang mengerikan bahwa perbedaan pendapat dan kebebasan berekspresi akan dijatuhi hukuman mati. Kerajaan telah lama menganggap kelompok-kelompok islamis sebagai ancaman internal terbesar bagi pemerintahannya.

Pada 1990-an, gerakan Sahwa (Kebangkitan) yang diilhami Ikhwanul Muslimin menuntut reformasi politik yang menjadi tantangan bagi pemerintah. Al-Awdah, seorang pemimpin Sahwa, dipenjara dari 1994-1999 karena menggerakkan perubahan politik.

Pada  2011, al-Awdah menyerukan pemilihan dan pemisahan kekuasaan. Tuntutannya dianggap provokasi berbahaya di kerajaan.

Arab Saudi, telah melakukan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat. Puluhan pemimpin agama, intelektual dan aktivis hak-hak perempuan ditangkap pada tahun lalu. Di antara mereka yang ditangkap adalah ulama Islam terkemuka Awad al-Qarni, Farhan al-Malki, Mostafa Hassan dan Safar al-Hawali.

Al-Hawali (68) ditahan setelah menerbitkan buku setebal 3.000 halaman yang menyerang bin Salman dan keluarga yang berkuasa atas hubungan mereka dengan Israel. Ia menyebut kerajaan sebagai pengkhianat.

Bulan lalu, pihak berwenang merekomendasikan hukuman mati untuk lima aktivis hak asasi manusia dari Provinsi Timur kerajaan, termasuk Israa al-Ghomgham, wanita pertama yang menghadapi hukuman mati karena membela HAM.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement