REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggaran saksi pemilu dinilai menunjukkan lemahnya fungsi kaderisasi yang dilakukan partai politik.
"Kalau ada 560 ribu tempat pemungutan suara (TPS) dan setiap parpol melakukan kaderisasi terhadap 560 ribu anggotanya, tentu itu akan efektif. Mestinya kaderisasi itu jalan, ini malah minta uang negara," kata pengamat politik kepemiluan, Ramlan Surbakti di Jakarta, Rabu (22/1).
Ramlan mengatakan, permintaan parpol agar pemerintah mengeluarkan Rp 700 miliar untuk honor saksi, bukan karena parpol tidak memiliki dana, melainkan orientasi politik partai tidak terarah.
Alih-alih menjalankan fungsi kaderisasi dengan baik, parpol justru menghabiskan dananya untuk kampanye secara berlebihan dan tidak efektif.
"Ini bukan partainya yang tidak punya duit tapi salah prioritas. Coba bandingkan kampanye yang menghabiskan banyak uang tapi tidak efektif itu dengan kaderisasi terhadap 560 ribu anggotanya," kata mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu.
Menurut Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad, pemerintah menyetujui anggaran biaya saksi dari parpol untuk seluruh TPS pada Pemilu Legislatif 9 April.
"Ada keresahan dari parpol bahwa kebutuhan saksi di tingkat TPS itu penting. Namun kalkulasi parpol anggarannya luar biasa," kata Muhammad.
Satu parpol sedikitnya mengeluarkan Rp 55 miliar untuk menyediakan saksi di seluruh TPS yang berjumlah 545.788.
Pengelolaan anggaran saksi tersebut, lanjut Muhammad, berada di bawah wewenang Bawaslu yang akan diberikan langsung kepada saksi tanpa melalui perantara parpol.
"Supaya netral, anggaran itu dititipkan ke Bawaslu karena kami yang melakukan pengawasan, Nanti pada hari-H akan langsung kami berikan ke tangan saksi," katanya.
Saat ini pemerintah sedang mempersiapkan peraturan presiden terkait anggaran untuk saksi parpol.