REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Pemilihan Umum Pusat Sigit Pamungkas mengatakan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 memerlukan penyelarasan antara undang-undang pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres), karena ada alur berbeda di keduanya.
"Banyak hal yang harus ditata kembali di tingkat undang-undang, bisa saja dipisah undang-undang pileg dan pilpres, tetapi harus disinkronkan," kata Sigit usai Sosialisasi Peraturan KPU tentang Partisipasi Masyarakat di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan salah satu hal yang tidak selaras di antara kedua undang-undang tersebut antara lain terkait teknis rekapitulasi perolehan surat suara.
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD diatur rekapitulasinya dilakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa-kelurahan. Sedangkan untuk rakpitulasi surat suara Pilpres dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Selain itu, juga teknis dan syarat pendaftaran calon anggota legislatif dan calon presiden harus diubah, apakah diseragamkan atau dibedakan satu sama lain.
MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai dasar hukum mengikat.
Amar putusan tersebut berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan pemilu seterusnya, kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan di Gedung MK Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan, sehingga Putusan tersebut tidak memungkinkan untuk dijalankan pada tahun ini.
"Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa," kata Hamdan.
Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.