REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Pemilu 2014 menjadi ajang ujian bagi profesionalisme pers Indonesia. Pers mesti bisa menyajikan informasi yang benar dan berimbang kepada masyarakat. Artinya, pers tidak boleh terjebak dalam kepentingan pragmatis partai politik.
"Posisi pers adalah menjadi wakil dan pelayan kepentingan publik," kata Pemimpin Redaksi Harian Republika Nasihin Masha dalam diskusi Peringatan Hari Pers Nasional bertajuk 'Peran dan Independensi Media dalam Menyingkirkan Ungkapan Kebencian di Media Massa' di Bengkulu, Jumat (7/2).
Nasihin berkata, politik merupakan dunia panggung tempat para aktor politik menyampaikan ide dan kepentingan. Kejelian para insan pers dalam memilah informasi menjadi keniscayaan yang tak bisa diabaikan.
Persoalannya, kata Nasihin, pers Indonesia masih terjebak pada sindrom pers perjuangan. Yakni bekerja dengan ego yang tak jarang melampaui profesionalisme per. "Pengaruh pers perjuangan ini sudah saatnya dikurangi. Kita ini adalah pers profesional," ujarnya.
Menurut Nasihin, butuh parameter kerja yang terukur untuk meningkatkan kualitas produk jurnalistik pers Indonesia. Nasihin mencontohkan, pers harus lebih ketat dalam membangun disiplin kerja, baik dalam kode etik maupun kode perilaku.
Sehingga akan tercipta kesadaran dalam diri insan pers untuk tidak terlibat dalam politik praktis. "Di Republika misalnya wartawan dilarang menjadi caleg dan tim sukses kampanye," kata pria asal Cirebon, Jawa Barat ini.