REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia mencatat sekira 15 ribu warga negara Indonesia di negeri itu terancam tak bisa menggunakan hak pemilihnya. Konsulat Jenderal Kota Kinabalu Soepeno Sahid mengatakan mereka terancam lantaran berstatus pendatang ilegal.
''Kami (KBRI) ingin agar mereka (para pendatang ilegal) tetap menggunakan hak pilihnya,'' kata dia, saat dihubungi, Kamis (20/2). Kata dia, risiko WNI ilegal itu, membuat warga tidak lagi peduli dengan pemilu.
Dengan berstatus pendatang ilegal di negeri orang, risiko tertangkap oleh pihak Kepolisian Diraja Malaysia saat pemilihan berlangsung semakin besar. Sebab, aparat berwenang di Malaysia akan mudah mengetahui keberadaan puluhan ribu pendatang ilegal.
Soepeno mengungkapkan, sekarang ini, tercatat sekira 1,4 juta WNI di negeri tersebut yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) luar negeri. Tapi, jutaan pemilih itu, belum merangkum sekira 15 ribu WNI ilegal. Padahal, kata dia, puluhan ribu WNI itu, adalah pemilih riil. Hanya mereka tak punya izin resmi sebagai pendatang. Mereka hanya punya identitas Indonesia.
Kata dia, KBRI tidak dapat memberikan jaminan hukum agar pemilih mau datang ke tempat pemungutan suara (TPS) di setiap perwakilan Indonesia. Akan tetapi KBRI dan KJRI memberi jaminan agar WNI ilegal tersebut dapat segera melengkapi persyaratan sebagai pendatang resmi dan bisa hadir di TPS.
KBRI memberi waktu sampai 21 Maret agar ribuan WNI tersebut bisa mengurus keperluan administrasi sebagai pendatang resmi. Kata dia, estimasi waktu tersebut menyusul keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pemilihan umum legislatif (pileg) yang akan dimajukan.
Jika pileg di Indonesia terjadwal 9 April, maka WNI di Malaysia dijadwalkan memilih 6 April. Ini agar penghitungan suara tetap dilaksanakan pada 9 April. ''Kami (KBRI) memberi aturan yang mudah, agar mereka ini tidak selalu diburu (oleh aparat) saat hari pencoblosan,'' ujar dia.