Warga melihat daftar pemilih tetap (DPT) di kelurahan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Selasa (29/10).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KBRI di Malaysia mencatat sekira 15 ribu warga negara Indonesia terancam tak bisa menggunakan hak pemilihnya.
Konsulat Jenderal Kota Kinabalu Soepeno Sahid mengatakan, mereka terancam lantaran berstatus pendatang ilegal. "Kami ingin agar mereka tetap menggunakan hak pilihnya," katanya saat dihubungi, Kamis (20/2).
Menurutnya, risiko WNI ilegal itu membuat warga tidak lagi peduli dengan pemilu. Dengan berstatus pendatang ilegal di negeri orang, risiko tertangkap oleh Kepolisian Diraja Malaysia saat pemilihan berlangsung semakin besar.
Sebab, kata dia, aparat berwenang di Malaysia akan mudah mengetahui keberadaan puluhan ribu pendatang haram itu.
Sekarang ini, katanya, tercatat sekira 1,4 juta WNI di negeri tersebut yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) luar negeri. Tapi, jutaan pemilih itu belum merangkum sekira 15 ribu WNI ilegal tersebut.
Padahal, puluhan ribu WNI itu merupakan pemilih ril. Hanya saja tak punya izin resmi sebagai pendatang. Tapi punya identitas Indonesia dan sah sebagai pemilih.
KBRI pun tidak dapat memberikan jaminan hukum, bagi pemilih ril itu agar mau datang ke tempat pemungutan suara (TPS) di setiap perwakilan Indonesia. Namun, KBRI dan KJRI memberi jaminan agar WNI ilegal tersebut dapat segera melengkapi persyaratan sebagai pendatang resmi dan bisa hadir di TPS.
KBRI, kata dia, memberi waktu sampai 21 Maret agar ribuan WNI tersebut bisa mengurus keperluan administrasi sebagai pendatang resmi. Estimasi waktu tersebut menyusul keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pileg yang akan dimajukan.
Jika pileg di Indonesia terjadwal 9 April, maka WNI di Malaysia dijadwalkan pada 6 April. Dengan penghitungan suara tetap dilaksanakan pada 9 April. "Kami memberi aturan yang mudah, agar mereka ini tidak selalu diburu saat hari pencoblosan," ujar dia.