REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan moratorium iklan politik adalah bentuk pengetatan penggunaan frekuensi publik. Selama ini KPI menilai frekuensi itu kerap digunakan untuk kepentingan pribadi atau segolongan tertentu.
Komisioner Penyiaran Indonesia, Fajar A Isnugroho, menyatakan moratorium ini adalah bentuk ketegasan sejumlah negara dalam mengatur frekuensi publik. Ada Bawaslu, KPU, KPI, dan KIP. "Semuanya merumuskan kesepakatan bersama berbentuk pengaturan kampanye pemilu di dunia penyiaran," jelas Fajar, kepada Republika, Jumat (28/2). Selama ini KPI banyak menerima masukan dan saran terkait penggunaan frekuensi publik oleh kepentingan kelompok tertentu.
Dia menjelaskan semua pihak sepakat menghentikan penyiaran iklan politik dan iklan kampanye pemilu sebelum jadwal pelaksanaannya diumumkan melalui Iklan media elektronik. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yakni terhitung dari tanggal 16 Maret 2014 hingga 5 April 2014.
Lembaga penyiaran dan peserta pemilu wajib mentaati ketentuan batas maksimum pemasangan iklan Kampanye Pemilu untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif. Ketentuannya, jelas Fajar, sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa Kampanye Pemilu. Bisa juga sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 60 detik untuk setiap stasiun radio setiap hari selama masa Kampanye Pemilu.
Lembaga penyiaran dan peserta pemilu dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu kepada peserta pemilu yang lain. Lembaga penyiaran wajib menentukan standar tarif iklan kampanye pemilu komersial yang berlaku sama untuk setiap peserta pemilu.
Lembaga penyiaran wajib membuat dan menyiarkan iklan layanan masyarakat tentang Pemilu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Erdy Nasrul Powered by Telkomsel BlackBerry®