Supaya angka golput tidak tinggi masyarakat perlu didorong untuk menggunakan hak pilihnya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah golput atau golongan putih dalam pemilu di Indonesia mulai muncul pada pemilu tahun 1971. Golput saat itu bukan hanya sebatas keengganan menggunakan hak pilih pada pemilu. Melainkan sebagai bentuk perlawanan terhadap pelaksanaan pemilu dan pemerintah yang lahir sebagai hasil dari pemilu.
Sosiolog dari Universitas Gajah Mada, Arie Sudjito mengatakan gerakan golput massal muncul pada era orde baru. Yakni pemilu 1971 dan pemilu 1977. Dipelopori oleh Arief Budiman, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Arief memimpin ratusan mahasiswa lainnya melakukan aksi golput sebagai bentuk perlawanan sistem pemilu dan pemerintah yang melaksanakan maupun pemerintah yang dihasilkan dari pemilu tersebut.
"Mereka mendeklarasikan gerakan golput massal itu sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim otoriter. Hampir semua mahasiswa maupun mantan aktifis terlibat," kata Arie, Senin (10/3). Gerakan golput massal tersebut meledak dan memuncak pada pemilu 1977. Lantaran hampir semua mahasiswa menolak pencalonan Soeharto.
Mahasiswa menolak pemilu yang bisa dipastikan akan meloloskan Soharto sebagai presiden. Padahal hasil pemilu sebelumnya dinilai gagal dan tidak menghasilkan perubahan positif bagi rakyat Indonesia.
Gerakan golput oleh pemerintah saat itu, dianggap sebagai gerakan subversif. Pemerintah bahkan berusaha menahan laju gerakan golput dengan tindakan kekerasan. Sehingga aksi perlawanan untuk tidak memilih itu menjadi semangat pemilih muda terutama mahasiswa sebagai gerakan melawan tirani kekuasaan.
"Tren golput terus berkembang sebagai bentuk perlawanan. Tapi memang yang paing keras itu tahun 1977. Mahasiswa ditodong senjata, ditangkapin," ujar Arie.
Pada pemilu tahun 80 dan 90-an, gerakan golput menurut Arie masih terus terjadi. Alasan golput masih berkaitan dengan ketidakpuasan atas rezim yang berkuasa. Pemerintahan Soeharto dinilai tidak bisa mengakomodasi keinginan rakyat. Tata politik yang berlangsung saat itu juga jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Memasuki era reformasi, pada tahun 1999 partisipasi masyarakat dalam pemilu mengalami peningkatan. Masyarakat memiliki harapan baru, reformasi akan memberikan angin segar bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Namun, pada pemilu 2004 gelombang golput kembali meningkat. Hasil pemilu 1999 dianggap mengecewakan. Setelah lima tahun berkuasa, pemerintah hasil reformasi ternyata belum bisa memenuhi harapan masyarakat.