Paparan hasil survei LSI atas kinerja pemerintahan SBY selama jalannya pemilu 2014, di Jakarta, Ahad (22/12).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Survei dan Opini Publik Indonesia (PERSEPI) memaklumi adanya pendanaan pihak ketiga atas pelaksanaan survei. Alasannya, untuk melakukan menyaring opini publik membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
Ketua Umum PERSEPI, Nico Harjanto mengatakan, suatu hal yang wajar kalau pelaksanaan survey dibiayai oleh pihak tertentu. Namun, tren dari hasil tersebut sudah bisa dipastikan relatif sama. Kalau berbeda signifikan dengan lembaga lain, maka patut dipertanyakan.
“Pelaksanaan survei itu memang membutuhkan biaya yang tinggi, sulit kalau secara mandiri,” kata Nico dalam jumpa pers penolakan pembatasan survey dan quick count di Kantor Indikator Politik Indonesia, Rabu (12/3).
Ia menambahkan, perihal itu tidak bisa menjadi alasan DPR mengkrangkeng informasi publik terkait hasil survey dan perhitungan cepat atau Quick Count pada pemilu legislatif 2014. Sebab, pekerjaan tersebut dinilai sebagai kegiatan akademik.
Kepala Bidang Hukum dan Etik PERSEPI, Andi Syafrani mengatakan, dalam UU No. 8 Tahun 2012, ketentuan pelarangan tersebut berlaku hanya untuk pileg, bukan pilpres. Menurut dia, itu adalah sebuah kejanggalan, karena menyangkut kepentingan di DPR.
“Belum lagi, MK pernah membatalkan sejumlah pasal di UU No.10 Tahun 2008 dan UU No.42 Tahun 2008, dimana klausulnya sama dengan ketentuan yang ada sekarang,” ujar dia.
Sebelumnya, beberapa pasal dalam UU Pileg menyatakan, lembaga survei dilarang mengumumkan survei pada masa tenang, perhitungan cepat tutup dua jam setelah pemungutan suara dan terdapat ancaman pidana bagi yang tidak patuh.