Maskot Pemilu 2014 dengan sebutan Sikora (Si Kotak Suara) berbaris saat sosialisasi dan deklarasi kampanye partai politik di Silang Monas, Jakarta, Sabtu (15/3). (Antara/Yudhi Mahatma)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai biaya politik semakin tinggi karena kontestan masih menggunakan metode tradisional. Peserta pemilu juga cenderung malas dan tidak mau mengeluarkan usaha lebih keras untuk mencapai hasil yang diinginkan.
"Semakin partai politik dan calon dalam kampanyenya menggunakan sarana atau alat lain maka akan semakin mahal biayanya. Sebaliknya jika parpol dan caleg menemui langsung masyarakat pemilih di masing-masing dapil maka semakin murah. Meski pun itu memang melelahkan," kata Deputi Koordinator JPPR Masykurudin Hafidz, Rabu (19/3).
Persoalannya, kata dia, sebagian besar peserta pemilu lebih memilih kampanye dengan mengandalkan sarana dan alat-alat lainnya. Mereka enggan turun menemui langsung pemilih secara rutin. Kegiatan turun ke lapangan pun hanya dilakukan saat mendekati hari pemungutan suara.
Menurut Masykurudin, mahalnya biaya pemilu, khususnya bagi calon, karena banyaknya kandidat yang mencalonkan diri di dapil yang berbeda. Sebagian besar calon DPR yang tinggal di Jabodetabek menyebabkan mereka harus mengeluarkan biaya tambahan.
Misalnya travel, akomodasi dan pengamanan alat perag. Karena dia tidak bisa mengamankan sendiri. Biaya-biaya tambahan ini yang pada akhirnya menambah mahalnya biaya pemilu.
"Masalahnya kemampuan keuangan masing-masing caleg berbeda. Sehingga pada akhirnya ada kesempatan yang tidak sama bagi caleg untuk kampanye dari aspek tambahan biaya tersebut," ujarnya.
Selain itu, model kampanye partai politik masih menggunakan cara tradisional. Bahkan, masih mempunyai niat untuk unjuk kekuatan agar dipahami sebagai partai besar.
Niat unjuk kekuatan membuat partai politik harus mengeluarkan uang untuk sewa gedung, stadion, menyewa sound system dengan kapasitas megawats, mengundang penyanyi nasional. Ditambah biaya menyediakan transportasi dan konsumsi dengan jumlah besar.
Partai politik yang fokusnya melakukan iklan di media cetak dan elektronik, biaya iklan di media cetak apalagi elektronik seperti televisi cenderung menyedot dana yang lebih besar lagi. Baik itu dalam rangka kampanye atau hanya sekedar iklan biasa biayanya jelas akan menguras kantong uang partai politik.
Kampanye model unjuk kekuatan seperti itu sangat menguras biaya oleh partai politik. Apalagi dilakukan di setiap propinsi dan kabupaten/kota. "Padahal belum tentu juga meningkatkan elektabilitas," kata Masykurudin.