REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sigit Pamungkas mengatakan biaya penyelenggaraan pemilu mahal sebagai konsekuensi dari metode berdemokrasi yang dijalankan. Meski biaya penyelenggaraan pemilu saat ini dinilainya masih proporsional.
Menurutnya, biaya besar untuk menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan sebagai hal wajar. Mengingat jumlah penduduk Indonesia tidak sedikit dan lingkup wilayah yang sangat kompleks.
"Kalau seandainya jumlah penduduk kita sedikit dan lingkup wilayah tidak begitu kompleks maka KPU sangat yakin biaya penyelenggaraan pemilu itu tidak akan sebesar yang ada," kata Sigit di kantor KPU, Jakarta, Rabu (19/3).
Sehingga, lanjut Sigit, berbagai kebutuhan berkaitan dengan pemilu tentu saja akan berbeda dengan daerah yang jumlah pemilihnya terbatas.
Terkait biaya di luar penyelenggaraan pemilu, katanya, memang ada biaya politik yang terlalu tinggi. Yaitu disebabkan cara atau metode berkomunikasi kepada pemilih yang tidak efektif. "Pada saat yang bersamaan, mengeluarkan biaya-biaya yang tidak perlu berkaitan dengan kontestasi," ujarnya.
Biaya yang tidak efektif itu misalnya ketika calon lebih mengedepankan seremonial dalam upaya menggaet pemilih. Pada saat bersamaan ada biaya yang tidak diperlukan seperti biaya politik uang. Yang menyebabkan kebutuhan dana membengkak.
Ia menjelaskan, biaya politik bisa ditekan jika kandidat atau peserta pemilu bisa mendesai metode kampanye yang tepat sekaligus tidak terbawa pada aktifitas memenuhi tuntutan yang tidak perlu. Seperti meminta hal-hal yang sifatnya material kepada calon.
Menurut dia, ketepatan strategi dan keteguhan calon dalam proses kampanye yang menjadi kunci biaya kampanye bisa ditekan. "Tapi yang lebih substansial, politik itu sesungguhnya touching. Kandidat yang tidak pernah memberi sentuhan dalam jangka waktu yang lama, biasanya akan lebih banyak butuhkan biaya yang tinggi," ungkap Sigit.