REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pemimpin Indonesia mendatang harus memahami karakteristik budaya Aceh yang dinamis. Pasalnya, Aceh harus mulai meninggalkan trauma konflik berdarah selama masa orde baru.
Pengamat kesejahteraan sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdi Lubis, saat dihubungi RoL, beberapa waktu lalu mengungkapkan, pemimpin Aceh mendatang haruslah sosok yang mampu menyikapi potensi konflik internal mereka dengan manajemen konflik yang baik.
"Secara administratif dan legal-formal, sudah hampir semua amanat Mount of Understanding (MoU) Helsinki terlaksana. Masalah saat ini ialah dinamika politik internal Aceh yang mengarah pada konflik baru," tutur Rissalwan.
Dinamika konflik internal Aceh itu, lanjutnya, tentu tidak diatur dalam MoU Helsinki. Pasalnya, konflik yang mendasari MoU Helsinki merupakan konflik vertikal antara pusat dan daerah yang disebabkan ketimpangan akses Sumber Daya Alam (SDA).
Sementara konflik yang terjadi belakangan ini, papar Rissalwan Habdi Lubis, lebih berupa konflik horizontal diantara kelompok-kelompok sipil Aceh yang berbeda kepentingan.
"Jadi, pemimpin Indonesia mendatang harus memahami dan mengerti karakteristik budaya Aceh yang dinamis. Pasalnya pemimpin Indonesia mendatang memiliki kewajiban moral untuk membantu menyelesaikan konflik internal di Aceh."