Maskot Pemilu 2014 dengan sebutan Sikora (Si Kotak Suara) berbaris saat sosialisasi dan deklarasi kampanye partai politik di Silang Monas, Jakarta, Sabtu (15/3). (Antara/Yudhi Mahatma)
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kampanye negatif dalam pemilihan umum (pemilu) 2014 dinilai lebih keras dibandingkan 2009. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dalam rilis hasil survei teranyar mengatakan, sekira 85 persen masyarakat pemilih, yakin pemilu 2014 lebih 'kejam'.
''Kampanye negatif ini sering berisikan pesan-pesan pemojokan dari partai satu terhadap para kompetitornya,'' kata peneliti LSI Adjie Alfaraby, saat menerangkan hasil survei LSI di Jakarta, Rabu (2/4).
Dikatakan dia, kampanye negatif kali ini, lebih sering berisikan pemaparan ketidakmampuan, pengalaman buruk, paham keekonomian, skandal, dan persoalan pribadi para kompetitor. Adjie menerangkan, kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam.
Jika kampanye hitam mengacu pada tuduhan yang tidak punya fakta, berbeda, kampanye negatif, lebih pada peristiwa dan kejadian, atau pun pemikiran yang benar diakui atau dilakukan oleh masing-masing petarung politik.
LSI mensurvei 1.200 responden pada 22 - 26 Maret 20014 untuk mengetahui tingkat penilaian kampanye negatif dan prediksi hasil pemilihan legislatif (pileg) 2014. Survei dilakukan di 33 provinsi, dengan mergin error 2,9 persen.
Adjie menambahkan, hasil survei LSI kali ini, juga dikuatkan dengan penelitian kualitatif terhadap media pemberitaan dan wawancara dengan semua responden.Dikatakan, ada empat partai besar peserta pemilu kali ini, yang punya dampak dari kampanye negatif tersebut.
Adjie tidak mendefinisikan empat partai ini sebagai pelaku atau juga korban kampanye negatif. Empat partai itu, antara lain, Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat, dan Gerindra.
Diterangakan Adjie,.video dan foto pelesiran capres Golkar, Abu Rizal Bakrie bersama para artis, ke Maladewa, beberapa waktu lalu, dinilai adalah sebagai kampanye negatif. Begitu juga, kampanye 'ingkar janji' capres PDI Perjuangan, Joko Widodo terkait komitmennya untuk menuntaskan masa jabatan Gubernur DKI Jakarta.
Sedangkan kampanye negatif tentang kerusakan moral para petinggi partai Demokrat, dalam perkara korupsi dan Bank Century, membuat partai penguasa itu sulit untuk mengelak. Bagi Gerindra, tentu kampanye negatif menyasar capres Prabowo Subianto, yang selalu diingatkan dengan peristiwa 1998.
Adjie menambahkan, dampak kampanye negatif ini, terasa menahan laju elektabilitas partai peserta pemilu. Kata dia, kampanye negatif ampuh menjebak elektabiltas keterpilihan satu partai, dalam tingkat kenaikan yang rata-rata hanya tiga persen.
Golkar contohnya, dengan kampanye negatif yang menyasar, ARB, menghentikan laju elektabilitas partai Golkar. ''Pada survei Januari - Februari Golkar ada di 18,3 persen. Sekarang (Maret) hanya ada di 21 persen,'' terang Adjie.
Sementara PDI Perjuangan, punya persentase serupa. Selebihnya Gerindara dengan elektabilitas delapan persen pada Januari, tapi sekarang berada di 11 persen.
Bagaimana dengan Demokrat? Adjie mengatakan, partai bintang mercy itu, masih berhenti di angka tujuh persen, dari empat persen pada Januari lalu. ''Persentase itu semestinya lebih, karena masa kampanye (terbuka) sudah beralngsung,'' terang dia.