REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemantau pemilihan umum (pemilu) MataMassa mengkritik upaya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan para calon anggota legislatif (caleg). Terutama terkait dengan dugaan pelanggaran pidana.
MataMassa menerima sekitar 20 laporan dari masyarakat terkait dugaan pelanggaran pidana pemilu dalam bentuk politik uang. Setelah memverifikasi dan memvalidasi laporan tersebut, MataMassa melaporkannya kepada Bawaslu dan juga Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Perwakilan dari MataMassa Umar Idris mempertanyakan tindak lanjut dari Bawaslu atas laporan itu. "Menyangkut laporan dugaan pidana itu tidak ada //follow up// yang kami terima," kata dia, selepas acara diskusi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (8/4).
Setidaknya MataMassa menerima 1500 laporan masyarakat atas dugaan pelanggaran pemilu. Sebagian besar dari laporan itu, menurut Umar, memang terkait dugaan pelanggaran administratif. Ia mengatakan, Bawaslu memang ada yang menindaklanjuti laporan mengenai pelanggaran administratif itu. Namun beda halnya dengan yang terkait dugaan pidana. "Belum ada satu pun," kata dia.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengkritisi pasal dalam Undang-Undang Pemilu terkait pelanggaran pemilu. Ia mengatakan, hasil proses pelanggaran itu harus sudah keluar lima hari sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil pemilu. Padahal, menurut dia, penyidikan terhadap dugaan pelanggaran itu membutuhkan waktu cukup lama. "Menurut kita, nampaknya undang-undang ini tidak pro kepada tema pilih yang jujur," ujar dia.
Menurut Adnan, perlu ada waktu yang cukup untuk bisa memproses dugaan pelanggaran terkait pemilu. Karena dengan masa waktu yang terbatas, ia menilai, ada kemungkinan laporan pelanggaran itu tidak dapat diproses oleh penyelenggara pemilu.
Apabila terus terjadi seperti itu, ia menilai, perlu dipertimbangkan adanya perubahan. "Saya rasa sebagai masyarakat kita perlu berpikir lakukan revisi undang-undang pemilu," kata dia.