REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Ratusan tahanan dan narapidana di lapas di Balikpapan dan Samarinda tidak difasilitasi untuk memberikan suaranya.
"Di Lapas Balikpapan ada lebih kurang 150 orang yang tidak bisa memberikan suaranya karena tidak termasuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK)," ungkap pemantau pemilu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Fauziah Rasad di Balikpapan, Kamis (10/4).
Tercatat, di lapas Balikpapan ada 570 orang yang memiliki hak pilih. Namun surat suara hanya tersedia untuk 411 orang.
Mereka yang tidak bisa memilih dan tidak termasuk ke dalam DPK karena identitas yang sesungguhnya tidak lagi diketahui. "Banyak nama alias atau nama samaran, dengan alamat berbeda, dan mungkin juga ber-KTP ganda," jelas Fauziah.
Begitu pula yang terjadi di Lapas Sempaja di Samarinda. Ada 760 orang yang terdaftar di dalam DPK, namun hanya 412 orang yang memberikan suaranya. Sebab hanya sejumlah itu surat suara tersedia. Sebanyak 348 orang atau hampir separuh lagi tak bisa memilih.
Jumlah itu masih ditambah lagi 13 orang dari lapas Sudirman di Samarinda. Menurut Fauziah, meski pun telah menjadi narapidana, selama yang bersangkutan tidak kehilangan hak pilihnya. Negara harus tetap memfasilitasi hal tersebut.
Bagi Komnas HAM, ini adalah cerminan belum efektifnya sistem administrasi kependudukan. "Sebenarnya persoalan utamanya itu perbaikkan sistem adminsitrasi kependudukkan. Kalau misalnya sistem administrasi kependudukkan kita
bagus, mungkin potensi warga yang kehilangan hak pilih seperti itu bisa dikurangi sangat banyak," kata Fauziah.