Dua orang pemilih lansia dan tuna netra didampingi petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 5 di Aula Bina Netra Wyata Guna, Jl Pajajaran, Bandung, Rabu (9/4). (Republika/Edi Yusuf)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Minimnya saksi dari partai politik (Parpol) untuk mengawal perjalanan surat suara menjadi peluang munculnya kecurangan perhitungan suara. Antisipasi yang harus dilakukan adalah melakukan pemantauan dari TPS ke kecamatan hingga ke kabupaten/kota.
Pengamat politik dan kebijakan publik UI, Adrinof Chaniago mengatakan, potensi penyimpangan umumnya terjadi saat rekapitulasi di tingkat bawah. Belum adanya laporan kecurangan sampai saat ini, bukan berarti aman, namun karena masih dalam proses perhitungan.
“Kalau tidak memiliki saksi yang cukup, peluang terjadinya kecurangan tidak bisa dipungkiri,” kata Adrinof saat dihubungi Republika, Ahad (13/4).
Dia menambahkan, modus yang digunakan adalah menjual suara ke salah satu caleg atau parpol tertentu. Penyelewengan itu sudah terencana dengan baik. Mereka umumnya melihat peluang pada suara caleg atau parpol yang kurang mendapat pengawalan.
Menurutnya, sistem pengawalan yang dilakukan KPU sebenarnya cukup ketat, yakni dengan memberikan surat C1 ke masing-masing saksi sehingga ketika ada hal mencurigakan, dokumen tersebut dapat menjadi alat kontrol. Namun tidak semua parpol punya saksi yang cukup.
Kondisi seperti itu kerap kali dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengumpulkan suara dari luar. Sebab, proses perjalanan surat suara di tingkat bawah masih sangat lemah dan membuka potensi penyelewengan suara.