REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan konsultan politik yang biasanya bekerja untuk lembaga survei di Indonesia mendapat sorotan tajam. Itu setelah prediksi mereka meleset jauh dari hasil hitung cepat. Wartawan senior Budiarto Shambazy mengatakan, praktik survei di Indonesia memang berbeda jauh dengan di Amerika Serikat (AS).
Menurut dia, fenomena di AS, biasanya yang namanya jajak pendapat atau survei untuk mengukur elektabilitas bukan menjadi penentu parpol ketika mengusung capres. Hal itu juga berlaku untuk calon gubernur, wali kota/bupati, maupun calon legislatif.
"Jajak pendapat hanya jadi alat bantu, mereka tidak membuat keputusan dari hasil survei," kata Budiarto di diskusi “Fenomena Konsultan Politik Dalam Industri Demokrasi" di Jakarta, Ahad (20/4).
Yang membuatnya miris, konsultan politik tidak memiliki ideologi. Pengambilan metodologi pun hanya bersifat kuantitatif. Tidak heran, penghitungan voting bisa berbeda jauh dari hasil survei. Kondisi itu jelas bertolak belakang dengan konsultan di AS yang tidak pernah meleset dalam mengumumkan hasil survei.