Anggota Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan hasil penghitungan cepat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 di Menteng, Jakarta, Rabu (11/7). Hasil LSI menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja unggul 42,77 persen disusul
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan konsultan politik yang biasanya bekerja untuk lembaga survei di Indonesia mendapat sorotan tajam. Itu setelah prediksi mereka meleset jauh dari hasil hitung cepat.
Pengamat psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menyoroti keberadaan konsultan politik di Indonesia yang hanya mementingkan klien. Karena itu, ia berpendapat kurang tepat kalau mereka disebut sebagai konsultan politik, melainkan konsultan marketing.
Pasalnya, kerja mereka tidak berbasis ideologi, tapi tergantung siapa yang bayar. "Beberapa hari lalu, teman-teman pengamat juga bilang, kok bisa-bisanya Ipang Wahid, dulu konsultan politik Foke di Pilgub, lawannya Jokowi, sekarang jadi konsultannya Jokowi. Apa dia tidak buka itu bobrok-bobroknya Jokowi? Nah, bagaimana ini,” kata Hamdi dalam diskusi “Fenomena Konsultan Politik Dalam Industri Demokrasi" di Jakarta, Ahad (20/4).
Politisi senior PDIP Sidarto Danusubroto menyatakan, guna mengoptimalkan strategi politik pemenangan Jokowi di Pilpres 2014, partainya akan meninjau kembali konsultan politik. Selama pileg lalu, PDIP menggunakan Fastcom.
Menurut Sidarto, PDIP ingin mengubah strategi untuk tidak sekadar menjual tokoh semata, melainkan turut menawarkan visi misi yang jelas, sejalan dengan ideologi partai. “Setahu saya, itu dipakai untuk Pileg, belum pasti dipakai untuk Pilpres, karena Jokowi punya konsultan sendiri, karena ini juga masih dibentuk,” kata ketua MPR itu.