Prabowo Subianto (kanan) dan Hatta Rajasa (kiri) menyapa pendukungnya saat meninggalkan gedung KPU usai menyerahkan berkas-berkas kelengkapan pendaftaran untuk mengikuti Pilpres di halaman Gedung KPU, Jakpus, Selasa (20/5).
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Identitas suku, ras, dan agama masih menjadi komoditas untuk bersaing dalam Pemilu Presiden 2014, kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito.
"Banyak elit-elit politik tidak bisa menjadi teladan, karena mereka mereproduksi identitas (suku, ras, agama) itu untuk komoditas politik," kata Arie di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, praktik politik identitas yang kerap muncul menjelang pemilu telah menyimpang dari etika dan tujuan berdemokrasi yang sesungguhnya. Upaya itu juga, kata dia, tidak memiliki korelasi substansial terhadap kebutuhan bangsa.
Oleh karena itu, kata dia, kini saatnya bertarung melawan kapitalisme global, bukan malah dipropaganda untuk bertarung antaragama, atau identitas lainnya.
"Saya berharap ini bukan hanya sekadar pilpres, tapi pemilihan pemimpin. Kalau memilih presiden itu gampang, tapi belum tentu presiden itu pemimpin," kata Arie.
Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) memprediksikan politik identitas akan memiliki pengaruh kuat di antara dua pasangan capres-cawapres, apabila jarak elektabilitas keduanya tidak terpaut jauh.
"Dengan jarak lima persen, maka keduanya harus bertarung keras. Dengan jarak elektabilitas yang dekat, politik identitas akan memiliki efek menentukan kemenangan sebesar 12 persen," kata Direktur LSI Kuskrido Ambardi.
Menurut dia, politik identitas tidak akan berdampak signifikan apabila rata-rata pemilih telah memiliki kesadaran yang baik dalam menggunakan hak pilihnya.