Home >> >>
Tjahjo Soal Babinsa: Cukup Ditegur Jangan Dikenai Sanksi
Rabu , 11 Jun 2014, 09:49 WIB
Republika/Amin Madani
Tjahyo Kumolo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pola gerak Bintara Pembina Desa (Babinsa) perlu diubah sementara menjelang pemilihan umum, baik pemilu anggota legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, kata Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo.

"Hal itu mengingat, struktur Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak harus selalu paralel dengan organisasi pemerintah," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya kepada Antara di Semarang, Rabu.

Ia lantas menyebutkan penjelasan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.

"Artinya, tugas dan fungsi Babinsa juga perlu dievaluasi dan pola gerak menjelang pemilu anggota legislatif dan Pilpres harus diubah sementara dan tetap dalam pengawasan tugas komandan, atasannya," kata Tjahjo.

Terkait dengan dugaan oknum Babinsa terlibat kampanye, Ketua Tim Kampanye Nasional Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla itu mengatakan, "Sebagai manusia, seorang Babinsa wajar khilaf dalam menjalankan tugas. Kendati demikian, harus terus diingatkan karena bisa merusak kehormatan institusi.".

Tjahjo yang juga anggota Komisi I (Bidang Pertahanan) DPR RI itu menekankan, "Apa pun komandan harus bertanggung jawab. Jangan semata dikorbankan anak buah saja.".

Menurut dia, oknum Babinsa yang melakukan kesalahan prosedur pada tahap pertama cukup ditegur atau peringatan keras saja dan tidak perlu diberi sanksi hukuman atau sampai penundaan kepangkatan.

"Kalau oknum tersebut melakukan untuk kali kedua, baru ada sanksi," kata Tjahjo ketika merespons atas pengaduan sejumlah keluarga yang mengaku didatangi oknum Babinsa yang meminta mereka untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu pada hari Minggu (8/6).

Ia menandaskan bahwa TNI, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 2 Huruf d UU TNI, adalah tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Dalam Pasal 7 UU TNI, ditegaskan pula bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

"Tugas pokok TNI terbatas pada OMP (operasi militer untuk perang) dan OMSP (operasi militer selain perang), artinya tidak ada dasar hukum bagi prajurit TNI (Babinsa) melakukan pendataan masyarakat, khususnya terkait dengan Pilpres," kata Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.

Pada Pilpres 9 Juli mendatang akan diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, di samping pasangan Jokowi-JK yang diusung PDI Perjuangan, Partai NasDem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI, juga pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang diusung Partai Gerindra, PAN, Partai Golkar, PKS, PPP, dan PBB.

Redaktur : Taufik Rachman
Sumber : antara
  Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id. Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.

Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.
avatar
Login sebagai:
Komentar