Mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Kudus membentangkan poster yang menghimbau melakukan shalat istikarah untuk memilih Presiden Indonesia 2014 di Alun-alun Kudus, Jateng, Senin (9/6).
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Guru Besar Psikologi Islam pertama di dunia, Ahmad Mubarok menilai pemilih muda sangat dipengaruhi gelombang informasi yang diterima. Baik itu media cetak dan online mau pun komunikasi langsung.
Sayangnya, banyak dari mereka yang tak terlalu paham. Sehingga rentan sekali tertipu oleh politik pencitraan.
"Bagi pemilih muda, politik itu sangat dipengaruhi media sosial. Sayangnya, banyak media saat ini yang tidak sportif dalam pemberitaan sehingga anak muda sekarang rentan tertipu politik pencitraan," ujar Ahmad dijumpai Republika di Surabaya, Kamis (12/6) malam.
Ia menjelaskan, pemilih muda umumnya ikut berpolitik. Sayangnya, mereka tidak mengikuti perasaannya. Melainkan pengaruh luar, seperti pandangan teman-teman.
Orang terpelajar atau kalangan menengah ke atas, pria kelahiran 15 Desember 1945 itu, biasanya lebih cerdas menanggapi politik pencitraan. Simpang siur informasi mengenai dua calon presiden 2014, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo bisa disikapi dengan cerdas.
Namun, orang awam akan lebih rentan juga tertipu politik pencitraan. Apa buktinya? Di perkotaan misalnya, setiap isu yang menyangkut salah satu kandidat bisa mengubah hasil survei elektabilitas yang bersangkutan.
Menanggapi kampanye hitam (black campaign), dosen UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan, akan selalu ada. Kehadiran media dan jejaring sosial dinilainya sebagai salah satu sarana penyebaran kampanye hitam yang paling aktif.
Dalam pemilu 2014, jumlah pemilih muda pada rentang usia 17-29 tahun sebanyak 53 juta orang dari 170 juta masyarakat Indonesia yang terdaftar memiliki hak pilih. Untuk mencerdaskan mereka supaya terhindari dari politik pencitraan, Ahmad mengatakan sekolah atau perguruan tinggi menjadi fasilitator terbaik, ketimbang keluarga.
Sudah saatnya lembaga pendidikan berani untuk mengundang tokoh politik berbeda dan melakukan diskusi langsung dengan siswa demi memperkenalkan mereka dunia politik lebih dini.
Budaya politik sportif juga harus muncul sejak awal dari kalangan muda. Ini juga bisa meningkatkan partisipasi aktif mereka pada momen pemilihan umum legislatif mau pun presiden, sehingga menekan angka golput.